Review Film: 'Upgrade' (2018)

Untungnya 'Upgrade' tak menjadi satu lagi kisah peringatan ihwal bahaya teknologi.

“Let me know if you need my help.”
— STEM
Rating UP:
Upgrade menggambarkan dunia dimana insan bisa mengintegrasikan kecerdasan buatan ala smartphone pada tubuhnya. Kita boleh menyebutnya... uhm, smartbody *ba dum tss*. Masa depan ibarat ini barangkali tak terlalu jauh di depan. Bagaimanapun, dikala ini saja sudah hampir semua aspek kehidupan modern diinvasi oleh kecerdasan buatan, mulai dari ponsel, mobil, TV, bahkan kulkas.


Film ini terdengar ibarat satu lagi film yang mengeskploitasi paranoia klasik ihwal bagaimana teknologi yang mengambil kontrol atas manusia. Sekarang isunya semakin relevan, alasannya yaitu teknologi berkembang begitu pesat sampai kecerdasan buatan menjadi begitu pintar, mereka bahkan bisa tahu merek celana dalam kita. Namun, untungnya Upgrade tak menjadi satu lagi kisah peringatan ihwal bahaya teknologi. Iya sih dikit, tapi film ini bisa tetap menjadi fresh berkat pemutakhiran yang diinjeksikan terhadap keklisean poin plotnya berupa pembangunan semesta yang efektif dan sekuens agresi yang inventif.

Semua bukan melulu soal ide. Orang boleh saja punya wangsit yang sama, tapi ada yang bisa membuatnya tetap terasa segar. Pemutakhiran penanganannya sudah tercermin semenjak kredit prajudul yang alih-alih berupa teks, justru disajikan lewat bunyi robotik ala Siri. Kita kemudian berkenalan dengan Grey Trace (Logan Marshall-Green), seorang mekanik kendaraan beroda empat lawas kendati sebagian besar orang sudah memakai driveless car, termasuk istrinya (Melanie Vallejo); seorang laki-laki analog yang terjebak di dunia digital. Meski aspek kehidupannya banyak ditunjang oleh teknologi, Grey agak curiga-curiga juga.

Dan ini terbukti benar. Suatu hari dikala berkendara dengan driveless car bersama sang istri, kendaraan beroda empat mereka mengalami malfungsi dan terjungkal. Segerombol preman memanfaatkan momen ini untuk membunuh sang istri serta melukai Grey dengan sedemikian parah sampai membuatnya lumpuh. Sekarang ia yaitu laki-laki depresi yang lebih menentukan mati kalau saja ia bisa salah satu bab tubuhnya untuk bunuh diri.

Datanglah Eron Keen (Harrison Gillbertson), seorang ilmuwan-pengusaha yang mencurigakan dengan rambut pucatnya yang mengkilap yang mengatakan ciptaan terbarunya, chip sebesar kecoak yang disebut STEM. Eron menjanjikan bisa menyembuhkan kelumpuhan Grey dengan memasang implan tersebut di lehernya. Tentu saja sebagaimana dugaan anda, ciptaan ini belum teruji dan oleh lantaran itu harus dirahasiakan keberadaannya dari siapa pun.

Yang tidak diketahui Grey, STEM ternyata tak cuma membantunya bergerak kembali melainkan juga meningkatkan kemampuan fisik dan kognitif serta memberikannya keahlian beladiri. Dengan ini, ia bisa dengan gampang memburu para preman yang sudah membantai istrinya. Grey juga belum tahu kalau STEM ini ibarat dengan Siri atau Google Assistant; pintar, serbatahu, dan bisa bicara dengan manusia. Suaranya ibarat dengan HAL 9000 dari film 2001: A Space Odyssey. Grey tak begitu curiga, barangkali lantaran belum menonton 2001: A Space Odyssey.

Plotnya standar film agresi balas dendam dengan sedikit bumbu scifi. Tapi Upgrade punya... uhm, upgrade menarik. Interaksi antara Grey dengan STEM punya sensasi komikal. Asyik dikala menyaksikan bagaimana STEM mengambil alih badan Grey (seijin Grey pastinya) untuk membuatnya melaksanakan aneka macam gerakan kungfu yang mematikan sementara Grey sendiri tampak terperangah mendapati tubuhnya bergerak tanpa kendalinya. Seringai getir semakin nampol dikala momen ibarat ini ditempatkan sangat kontras di antara adegan-adegan agresi yang sangat berdarah-darah.

Kebrutalan ini tak mengherankan, alasannya yaitu filmnya digarap oleh Leigh Whannell yang rutin berkolaborasi dengan James Wan dalam film-film Saw. Sebelumnya ia pernah menyutradarai Insidious: Chapter 3. Tapi film tersebut tak mempersiapkan aku untuk Upgrade. Disini Whannell bekerja dengan sangat terkontrol. Bahkan gimik utamanya, yaitu kamera yang bergerak terkunci mengikuti setiap gerakan koreografi sekuens agresi ala robot, terasa efektif dan tidak dipakai dengan berlebihan. Efek spesialnya terbilang sangat meyakinkan walau film ini diproduksi oleh Blumhouse yang biasa mengeluarkan bujet minim. Film ini terlihat 5 kali lipat lebih mahal dari yang sebenarnya.

Namun patut diingat bahwa film ini bukanlah film scifi yang cerdas-cerdas amat. Beberapa logikanya niscaya akan menciptakan kepala penonton yang perhatian jadi berkedut. Aspek misteri mengenai pembunuhan sang istri juga tak begitu involving, alasannya yaitu jawabannya cukup kentara. Anda mungkin juga bakal bertanya-tanya apa pentingnya tugas Betty Gabriel sebagai seorang polisi detektif. Resolusi ceritanya juga tak mengatakan eksplorasi yang lebih besar mengenai konsepnya. Ah, tapi kita bakal mendapati sebuah adegan dimana seorang laki-laki yang membunuh orang lain hanya lewat bersin saja.

Iya, serius. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Upgrade

100 menit
Dewasa
Leigh Whannell
Leigh Whannell
Jason Blum, Kylie Du Fresne, Brian Kavanaugh-Jones
Stefan Duscio
Jed Palmer

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Upgrade' (2018)"

Post a Comment