Review Film: 'Ralph Breaks The Internet' (2018)

'Ralph Breaks the Internet' berani untuk mengeksplorasi lebih banyak, hingga bisa menghadirkan film animasi yang menghibur sekaligus cerdas.

“Start churnin' butter and put on your church shoes, little sister, cuz we're about to blast off!”
— Ralph
Rating UP:
Ini yakni pertama kalinya bagi Ralph mengunjungi yang namanya internet. Dan sungguh mantap sekali, Ralph Breaks the Internet juga menciptakan kita merasa menyerupai berkenalan ulang dengan semesta virtual yang luas tanpa batas tersebut, dimana semua serba ada dan selalu ada hal gres di setiap sudut. Film ini bisa mengubah sesuatu yang tak penting-penting amat menjadi sesuatu yang imajinatif. Hal-hal rutin soal internet diubah menjadi petualangan yang seru. Kita seolah serasa pertama kali mengunjungi internet.


Film ini ternyata lebih baik daripada yang saya perkirakan. Menonton film pertamanya, Wreck-It Ralph, saya tahu film ini akan kembali memakai amunisi utama berupa merek dan huruf dari properti lain yang didandani dengan animasi kekinian yang mentereng ditambah sedikit lawakan berupa permainan referensi. Hmm, niscaya Ralph bakal ketemu sama sosok fisik dari Google, Facebook, Twitter, dkk, kan? Namun rupanya ia tak seremeh itu. Pembuatnya, Rich Moore yang kembali berkolaborasi dengan Phil Johnston sehabis Zootopia yang subsversif itu, ternyata berani untuk mengeksplorasi lebih banyak, hingga bisa menghadirkan film animasi yang menghibur sekaligus cerdas. Film ini yakni sekuel yang haqiqi, punya dongeng gres yang layak untuk diceritakan.

Sebagaimana yang kita tahu di final film pertamanya, Ralph (John C. Reilly) sudah berdamai dengan takdirnya sebagai villain bagi Fix-It Felix. Yang lebih penting, ia kini sudah punya sobat karib, Vanellope (Sarah Silverman), pembalap imut dari game Sugar Rush. Ralph bahagia dengan rutinitasnya bekerja di game dingdong di siang hari dan nongkrong di game lain bersama Vanellope di malam hari. Namun Vanellope haus akan petualangan baru.

Sebuah peristiwa merubah semuanya: setir di dingdong Sugar Rush patah. Dan alasannya yakni ini yakni periode milenial, tentu saja dingdong Sugar Rush tak lagi diproduksi, boro-boro suku cadang macam setir. Satu-satunya daerah untuk mendapatkannya yakni di sesuatu yang berjulukan "eBay". eBay ini ada di "internet", sesuatu yang juga gres pertama kali mereka dengar. Tak ada waktu untuk ragu-ragu, mari Ralph dan Vanellope, kita berangkat menuju internet!

Pengejawantahan internet disini sungguh merupakan santapan visual yang ciamik. Animasinya sangat bagus, penuh dengan detail yang asyik untuk dicermati. Internet digambarkan sebagai sebuah kota futuristik yang disesaki dengan gedung pencakar langit dan baliho. Manusia diwakili lewat avatar kaku mini yang sibuk bergerak kesana-kemari dari satu aplikasi ke aplikasi lain. Mesin pencarian digambarkan menyerupai petugas pustaka yang serba tahu. eBay merupakan area lelang berukuran masif. Spam diperlihatkan menyerupai teman kita yang suka memepet terus buat memprospek MLM. Dan, P***Hub... tentu saja gak ada. Anda kira ini film apa.

Sebagaimana internet sungguhan, ada begitu banyak hal yang berseliweran di ketika bersamaan. Namun kompleksitas ini bisa dibentuk untuk simpel dimengerti. Atau mungkin alasannya yakni kitanya saja yang memang sudah familiar dengan prosedur internet. Yang lebih penting, itu semua bukan sekadar aksesoris belaka, melainkan juga terintegrasi dengan cerita. Untuk bisa membeli setir di eBay, Ralph dan Vanellope butuh uang. Dan ini mengantarkan mereka untuk bertemu dengan tukang jualan pop-up JP Spamley (Bill Hader) dan gembong aplikasi video streaming penghamba viral Yesss (Taraji P. Henson).

Misi mereka sangat simpel: cari duit, bayar setir, kemudian pulang ke rumah. Namun tentu saja semua tak berjalan lancar. Film ini tak hanya soal petualangan di internet, melainkan juga soal korelasi antara kedua huruf utama kita. Film ini menemukan sudut gres untuk menggali dinamika persahabatan mereka. Tak menyerupai Ralph, internet menjanjikan petualangan gres bagi Vanellope, terlebih dengan sambutan hangat dari Shank (Gal Gadot), ketua tim dari game balap sadis berjudul Slaughter Race yang membuatnya bisa memamerkan skill menyetirnya yang dahsyat.

Anda tentu sudah tahu bahwa film ini yakni produk yang jaman now banget, memanfaatkan momentum dari budaya internet masa kini. Referensi mengenai aneka macam macam entitas internet menyerupai Snapchat, Pinterest, Youtube, dll, akan menjadi nostalgia dalam lima tahun, dan barangkali jadi bau 10 tahun nanti. Namun paling tidak, film ini mengeksploitasinya dengan cerdik lewat satire ringan nan tajam. Ia menyentil semua budaya internet kita, mulai dari kebodohan yang simpel jadi viral, spamming, hingga cyberbullying.

Demikian pula dengan situasi industri Hollywood dimana Disney memonopoli banyak properti. Mereka menertawakan diri sendiri disini. Di pertengahan film, huruf utama kita akan berjumpa dengan semua, saya ulang, semua princess Disney yang sedang hangout. Kenapa mereka ada disana? Apa relevansinya buat cerita? Saya tak begitu tahu. Tapi dengan begitu, kita bisa melihat mereka menyindir sendiri soal klise karakterisasi mereka, menyerupai kebiasaan mereka yang sekonyong-konyong suka menyanyi atau soal hidup mereka yang biasanya diselamatkan oleh "pria besar yang kuat". Film ini memanfaatkan nostalgia untuk ngelawak.

Semua itu, saya kira, belum akan dipedulikan oleh penonton muda. Apa yang mereka cari yakni animasi hiperaktif, yang mana lebih dari cukup disini, serta pesan moral sederhana, yang secara mengejutkan tidak mengecewakan greget. Film ini menawarkan nasihat mengenai persahabatan, tapi bukan yang klise. Alih-alih, sesuatu yang riil yang benar-benar harus dan barangkali sulit dihandel di dunia faktual oleh anak-anak. Dan ini menyatu dengan mulus terhadap plot. Malah, ia digunakan sebagai mekanika plot. Penggunaannya begitu lihai, hingga tak ada perasaan mengganjal ketika menonton. Ini menciptakan filmnya lebih dari sekadar product placement. Pembuatnya berhasil menyeimbangkan antara menawarkan pesan moral dan menyuguhkan petualangan yang seru.

Saya bisa membayangkan bagaimana serunya proses brainstorming dalam menyebarkan plot ini. Para pembuatnya niscaya saling berteriak dengan sumringah,"Ih, ih, ih, gimana kalau kayak gini? Trus, trus, trus, kayak gini?", menyerupai anak kecil yang sedang menciptakan skenario ketika main robot-robotan. Keseruan film ini tercermin dari produk akhirnya. Saking serunya saya tak keberatan untuk berkunjung kembali. Saya rasa beginilah seharusnya film animasi keluarga dibuat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ralph Breaks the Internet

112 menit
Semua Umur - BO
Rich Moore, Phil Johnston
Phil Johnston, Pamela Ribon
Clark Spencer
Nathan Detroit Warner (layout), Brian Leach (lighting)
Henry Jackman

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Ralph Breaks The Internet' (2018)"

Post a Comment