Yang lebih sadis disini yaitu bagaimana filmnya bisa memeras humor dari acara kriminal yang brutal.
“I picked a good road early and I stayed on it.”Rating UP:
— Nelson Coxman
Cold Pursuit seolah sudah meminta semoga kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar ibarat satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini yaitu bagaimana filmnya yang bisa memeras humor dari acara brutal dan tak patut diteladani tersebut.
Neeson bermain sebagai Nels Coxman, laki-laki biasa yang gres saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya yaitu supir kendaraan beroda empat pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan alasannya Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.
Awal perkaranya yaitu tamat hidup anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal alasannya overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal sesudah tahu bahwa anaknya bekerjsama dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; kini ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco hingga sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).
Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayit berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film agresi Liam Neeson. Cold Pursuit yaitu cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada huruf yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan memakai hal ini sebagai punchline nantinya.
Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia menciptakan ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari agresi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, alasannya tak ada satu pun huruf yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat asing hingga karenanya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.
Killing list tadi bukan menjadi milik huruf Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya menciptakan situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa tamat hidup kroconya yaitu perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup usang supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan abang Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.
Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua obrolan lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu usang dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bab dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup usang di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di titik puncak terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan tamat yang memuaskan.
Neeson bermain lurus ibarat biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak hingga terlihat ibarat karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya tenggang rasa sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi hikmah yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan ibarat parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi wangsit utamanya. Yang jelas, aku tetap ketawa. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)"
Post a Comment