Review Film: 'Christopher Robin' (2018)

Film ini seyogianya lebih cocok buat orang dewasa, terutama orang cukup umur yang perlu dipecut untuk bisa kembali menemukan semangat kekanakan mereka.

“People say nothing is impossible. But I do nothing everyday.”
— Pooh
Rating UP:
Anda ingat dengan anak kecil berjulukan Christopher Robin yang suka bertualang di Hutan Hundred Acre dalam buku/kartun Winnie the Pooh ciptaan A.A. Milne? Sekarang ia sudah besar. Ia telah menemukan sesuatu yang pada karenanya juga akan ditemukan oleh semua mantan bawah umur lainnya, menyerupai bertambah umur, lulus sekolah, pusing nganggur, bekerja, pusing mikirin kerjaan, menikah, jadi orangtua, pusing mikirin anak, bayar cicilan bulanan, pusing mikiran cicilan, dst. Singkat kata: sesuatu yang mengerikan yang berjulukan real life.

Lha kok jadi curcol


Sebagaimana yang anda kira, itu yaitu hal-hal yang tidak mengecewakan disturbing buat anak-anak. Maka, meski Christopher Robin intinya yaitu film live-action dari kartun anak Winnie the Pooh, film ini seyogianya lebih cocok buat orang dewasa, terutama orang cukup umur yang perlu dipecut untuk bisa kembali menemukan semangat kekanakan mereka. Ah, tapi kan sebagian besar dari kita memang sudah kehilangan hal tersebut di suatu daerah di usia 20an kita dulu.

Huatchiiih

Film ini merupakan pengejawantahan sederhana dari pertanyaan yang tak ingin kita tanyakan selama ini: apa yang akan terjadi dikala Christopher Robin sudah dewasa? Kita tak ingin menemukan jawabannya alasannya bahwasanya kita sudah tahu: ia akan jadi membosankan, alasannya telah kekurangan selera humor, keceriaan, dan semangat bertualang. Film ini berfokus soal bagaimana Christopher mendapat semua perasaan itu kembali. Yah, paling tidak separuhnya. Efektivitas film ini bergantung pada seberapa besar anda merindukan untuk juga mendapat perasaan tersebut. Oleh alasannya itu, cukup mengecewakan bahwasanya soal bagaimana filmnya yang secara keseluruhan tidak mengatakan apa-apa kecuali melanjutkan mitologi Winnie the Pooh dan mempermainkan nostalgia kita.

Penggemar militan Winnie the Pooh tentu tahu bahwa di kisah terakhirnya yang berjudul The House at Pooh Corner, Pooh dkk menggelar pesta perpisahan buat Christopher yang harus siap menyambut cendekia baligh dan meninggalkan teman-teman terbaiknya. Kita melihat apa yang dialami Christopher, dari sekolah asrama hingga jadi tentara, hingga kemudian bermetamorfosis laki-laki paruh baya menyerupai Ewan McGregor, yang saking sibuk bekerja di sebuah perusahaan tas, ia tak punya waktu lagi untuk piknik bersama istri (Hayley Atwell) dan anaknya (Bronte Carmichael).

Kehidupan Christopher jauh dari keceriaan masa kecilnya. Hubungannya dengan sang istri tak begitu baik. Ia jarang menghabiskan waktu bersama sang anak, dan kalaupun ada, ia malah membacakan buku sejarah alih-alih buku dongeng. Belum lagi, paksaannya biar si anak masuk sekolah berasrama menyerupai dirinya. Di kantor, Christopher sedang dipres oleh bosnya untuk melaksanakan efisiensi karyawan di tengah kondisi finansial perusahaan yang buruk; sesuatu yang entah akan menciptakan rambut jadi rontok atau malah cepat ubanan. Itulah dikala dimana Pooh muncul kemudian meminta dukungan Christopher untuk mencari teman-temannya yang hilang di Hutan Hundred Acre.

Di dunia yang logis, ini akan menciptakan Christopher mengingat-ingat kembali berapa linting ganja yang dihisapnya tadi pagi. Tapi tidak disini, alasannya Pooh yaitu makhluk yang berwujud, nyata, haqiqi, real. Pooh bukan sahabat imajiner Christopher kecil. Bukan cuma Christopher yang bisa melihat boneka beruang mungil ini bergerak dan bicara. Orang lain pun bisa, dan ya, mereka bergidik melihatnya. Tentu saja alasannya film ini fantasi, kita tak usah repot-repot memikirkan logikanya. Yang jelas, ini mengantar Christopher ke kampung halamannya di Sussex, yang ngomong-ngomong hari ini jadi daerah piknik istri dan anaknya, demi menemukan teman-teman Pooh yang menghilang.

Dan itu artinya kita akan reuni dengan babi jantungan Piglet, keledai emo Eeyore, burung hantu bijak Owl, harimau hiperaktif Tigger, dll. Reuni ini terperinci akan menciptakan hati para mantan penggemar kartun Winnie the Pooh berdesir. Mereka semua dihidupkan dengan CGI yang mengesankan dan mendetail, kita bisa melihat hingga bulu terhalus. Meski punya wujud lebih menyerupai boneka alih-alih menyerupai versi kartunnya yang lebih hidup, karakter-karakter ini ternyata bisa dibentuk sangat ekspresif dan punya banyak emosi. Ini juga berkat kehandalan para pengisi suaranya, terutama Jim Cummings —sudah berdekade menyuarakan abjad Pooh— yang sedemikian rupa mengkondisikan bunyi Pooh biar terdengar hangat tapi di dikala bersamaan juga mengiris hati kita dengan pilihan katanya yang polos dan sederhana.

Ewan McGregor yaitu bintang film yang sempurna untuk memerankan Christopher Robin. Ia punya kemampuan untuk terlihat kredibel sebagai pekerja kerah biru yang stres gara-gara kerjaan tapi juga meyakinkan dikala berinteraksi dengan boneka hidup. Kendati demikian, Christopher Robin bahwasanya merupakan abjad yang tak begitu menarik. Begitu pula dengan real life-nya. Makara dikala konflik utama mengambil latar di dunia konkret dengan pendekatan plot dan nilai sopan santun yang terlalu familiar, aku jadi berharap aku ditinggal saja di Hutan Hundred Acre.

Kunjungan kembali ke Hutan Hundred Acre memang selalu menyenangkan. Dan momen untuk reuni dengan mitra usang rasa-rasanya tak pernah tak menciptakan haru. Namun aku percaya bahwa dengan mengambil latar masa cukup umur Christopher Robin alih-alih mengadaptasi eksklusif bahan kartun yang biasa kita tonton, film ini ditujukan supaya punya bobot emosional yang lebih. Skrip sayangnya tak punya sesuatu yang urgen yang mengijinkan sutradara Marc Forster untuk menyuguhkan tohokan menyerupai yang diberikannya lewat Finding Neverland, pendekatan gres dari kisah klasik Peter Pan. Christopher Robin lebih menyerupai penghormatan setia yang dibentuk dengan sangat baik. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, aku haqqulyaqin film ini hanya cocok ditonton oleh demografi yang spesifik: penonton yang kangen sama masa kecilnya, khususnya yang besar bersama Pooh dkk. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Christopher Robin

104 menit
Semua Umur - BO
Marc Forster
Alex Ross Perry, Tom McCarthy, Allison Schroeder (screenplay), Greg Brooker, Mark Steven Johnson (cerita), A.A. Milne, E.H. Shepard (buku)
Brigham Taylor, Kristin Burr
Matthias Koenigswieser
Geoff Zanelli, Jon Brion

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Christopher Robin' (2018)"

Post a Comment