Review Film: 'The Night Comes For Us' (2018)

'The Night Comes For Us' ialah hal terdekat yang bisa didapatkan bagi mereka yang menantikan 'The Raid 3'.

“Gue gak bisa bunuh yang udah mati.”
— Ito
Rating UP:
Berkat The Raid, penonton internasional mengenal film Indonesia sebagai film agresi penuh kekerasan ekstrim. Kemudian lantaran The Raid 2 dan kini The Night Comes For Us, mereka boleh jadi menduga bahwa film Indonesia yaaa cuma film agresi penuh kekerasan ekstrim. Lha gimana, film ini punya darah dan daging yang sama dengan The Raid. Dan lantaran Gareth Evans bilang bahwa ia tak tertarik melanjutkan The Raid, maka The Night Comes For Us ialah hal terdekat yang bisa didapatkan bagi mereka yang menantikan The Raid 3.


Saya tak bermaksud menyalahkan pembuat film ini. Toh ini semua kan lantaran permainan situasi belaka. The Raid barangkali ialah film Indonesia pertama yang tayang di pasar mainstream luar negeri. The Night Comes For Us dirilis di Netflix, yang artinya bisa ditonton oleh semua makhluk hidup yang punya susukan internet. Saya paham kenapa film-film ini lebih menarik bagi biro luar; jualannya unik. Film agresi Barat tak seberani itu untuk melewati batasannya. Saya kira hanya film agresi Korea yang nekat memaksa diri melewati standar tabu film aksi, tapi lagi-lagi tak ada juga yang menyuguhkannya hampir dua jam full.

Mungkin itu lantaran pembuatnya juga peduli untuk menyajikan plot dan karakter, berbeda dengan film ini. The Night Comes For Us cuma soal aksi. Titik. Orang-orang menghajar orang lain hingga mati dan kemudian tiba lagi orang lain yang juga siap mengajar/dihajar hingga mati. Begitu terus silih berganti. Film ini tak butuh plot dan dialog. Film ini bisa saja ditonton oleh orang Zimbabwe, dan walaupun mereka sama sekali tak mengerti Bahasa Indonesia, level pemahaman mereka kurang lebih akan sama saja dengan kita yang orang Indonesia tulen.

Saya tak percaya sedikit pun dengan ceritanya. Sama sekali. Sulit untuk mengikuti siapa yang berantem dengan siapa, lebih sulit lagi untuk mengetahui alasan masing-masing karakternya berantem gara-gara apa. Semua hanyalah alat untuk menghadirkan adegan agresi yang ekstrim. Plot ada hanya untuk menempatkan karakternya ke pertarungan berikutnya. Dan plot film ini cukup trivial untuk itu. Diceritakan bahwa kelompok mafia Asia Tenggara, TRIAD punya tim elit berjulukan Six Seas yang bertugas melaksanakan (((apa saja))) yang diharapkan demi kelancaran bisnis mereka. Nah, salah satu anggota Six Seas yang berjulukan Ito (Joe Taslim) sudah muak dengan ini semua, kemudian tetapkan untuk berhenti sembari menyelamatkan satu anak gadis yang seharusnya ia bunuh. Tentu saja, TRIAD bakal balik memburunya.

Sejujurnya, aku tak tahu siapa saja anggota Six Seas ini. Entah mereka Six Seas atau bukan, nanti ada Abimana Aryasatya dan Zack Lee yang bakal membantu Joe. Saya pikir yang jelas-jelas anggotanya ialah Sunny Pang dan Iko Uwais, alasannya ialah Sunny kemudian mengutus Iko tiba ke Indonesia untuk eksklusif membereskan Joe. Tapi Iko tak eksklusif mengkonfrontir Joe, alih-alih ada lusinan cecunguk lain yang lebih dulu bergerak. Saya mengerti apa alasannya, yaitu: (1) semoga filmnya tidak eksklusif habis, (2) supaya Joe bisa pamer membunuh lusinan orang terlebih dahulu, dan (3) ... uhm... mung... anu... eh kok kayaknya gak ada alasan lain yak?

Level kekerasan disini sudah setara Maicih* level 12. Ia sudah bukan di ranah agresi lagi, melainkan sudah masuk ke horor; tulang dipatahkan, lengan dibacok, tubuh dipancung, kepala dihancurkan. Mirip The Raid, tapi lebih berdarah-darah. Wajar saja mengingat sutradaranya ialah sutradara Rumah Dara, Timo Tjahjanto. Saya bukan pengamat Silat, tapi yang terang film ini semakin mengukuhkan perkiraan pasca The Raid bahwa Silat merupakan beladiri paling mematikan di seluruh dunia. Permainan kamera Timo mungkin tak seanggun Evans, tapi aku berani bilang film ini sukses mengalahkan standar film agresi manapun yang digarap oleh sutradara Indonesia. Selalu ada cara untuk membunuh orang dengan senjata apapun, sebab, hei, semua properti bisa jadi senjata. Bahkan bola biliar sekalipun.

Karakter-karakter tiba kemudian mati. Begitu terus. Kecuali huruf utama, lantaran mereka bakal dibilang cemen kalau eksklusif mati. Para huruf sampingan terus tewas bergelimpangan lewat cara-cara membunuh, yang saking kreatif dan meyakinkan, aku tak tahu bagaimana cara Timo menggarapnya tanpa benar-benar mematahkan, menusuk, menyayat, dan membantai para stuntmen. Jumlah korban sudah tak bisa dihitung pakai jari, bahkan kalau ditambah dengan jari kaki. Dengan kekacauan semasif ini, mengejutkan melihat nyaris tak ada sedikitpun campur tangan polisi disini. Mungkin sebagian besar sedang sibuk menangani hoaks.

Untung sekali beberapa huruf kita, terutama yang diperankan bintang ternama, bisa melewati batas kebugaran jasmani insan normal. Satu luka menyerupai di film bisa menciptakan aku diopname seminggu. Tapi para huruf kita tetap bisa bergerak dengan lincah meski sudah tertusuk, tertembak, terbacok, dll, sehingga mereka bisa menyuguhkan lebih banyak adegan brutal buat kita. Joe Taslim mungkin ialah insan paling fit se-Indonesia, lantaran sepanjang film ia sudah begitu banyak menderita luka yang cukup untuk mengantarkan insan biasa ke alam goib tapi tetap bisa bertarung bahkan hingga ke film berikutnya.

Semua sekuens ini seru untuk dilihat setidaknya hingga aku jenuh. Rasanya sama menyerupai mendengar lagu metal terlalu lama. Awalnya terdengar keren tapi kalau sudah nonstop seharian jadi bikin gerah. Nihilnya karakterisasi meniadakan momentum yang diharapkan untuk mengantarkan kita dari satu sekuens agresi ke sekuens agresi berikutnya. Saya ingin tau apakah Timo (yang juga menulis skrip) benar-benar peduli dengan huruf utamanya atau tidak. The Raid beruntung lantaran konsepnya yang simpel. Saya tahu kalau aku tak perlu peduli dengan huruf di film tersebut. Namun The Night Comes For Us berkali-kali berusaha menunjukkan tekstur dalam plotnya. Entah lewat eksposisi soal motif huruf atau lewat adegan flashback. Saya tak tahu kenapa harus repot-repot bercerita alasannya ialah toh kita gak bakal peduli juga.

Kuis buat anda, mana yang lebih ingin anda lihat: (a) perjalanan Joe Taslim menebus dosanya dengan menyelamatkan gadis kecil yang entah anak siapa, atau (b) duet Dian Sastro emo dan Hannah Al Rashid metal yang menghajar dan dihajar Julie Estelle.

*) review ini tidak disponsori oleh Maicih ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Night Comes For Us

121 menit
Dewasa
Timo Tjahjanto
Timo Tjahjanto
Todd Brown, Nick Spicer, Kimo Stamboel, Timo Tjahjanto, Sukhdev Singh, Mike Wiluan, Wicky V. Olindo
Gunnar Nimpuno
Fajar Yuskemal, Aria Prayogi

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'The Night Comes For Us' (2018)"

Post a Comment