Review Film: 'Pet Sematary' (2019)

Sedari film orisinalnya yang dirilis pada tahun 1989, saya tak mengerti dengan motif beberapa karakter.

“Sometimes dead is better.”
— Jud Crandall
Rating UP:
Sedari film orisinalnya yang dirilis pada tahun 1989, saya tak mengerti dengan motif beberapa karakter. Saya tak habis pikir kenapa mereka melaksanakan hal yang mereka lakukan. Sekarang, dua puluh tahun kemudian, film versi terbarunya tetap tak banyak membantu saya untuk memahami. Kadang, huruf dalam film horor memang harus melaksanakan hal bodoh. Tujuannya demi memperlihatkan hiburan buat kita. Namun, Pet Sematary ialah film serius. Konon katanya film ini ialah soal menghadapi kehilangan dan eksplorasi proses berduka.


Pet Sematary versi gres ini kurang lebih mempertahankan garis besar kisah versi lama. Karakter utama kita ialah keluarga Creed, yang terdiri dari suami Louis (Jason Clarke), istri Rachel (Amy Seimetz), anak gadis 8-tahun Ellie (Jete Laurence), dan bocah balita Gage (Hugo & Lucas Lavoie). Oh, dan tentu tidak lupa, si kucing Church. Mereka gres saja pindah ke rumah gres di kawasan pinggiran Maine.

Nah, rumah gres mereka ini punya fitur halaman depan dan belakang yang sangat menantang. Halaman depan hanya berjarak satu jengkal saja dengan jalan raya. Koreksi; setengah jengkal. Hanya beberapa detik menginjakkan kaki di rumah baru, keluarga ini dikejutkan setengah mati dengan truk yang tiba-tiba melesat secepat kilat. Kita kira sebuah keluarga yang punya seorang anak balita sanggup menciptakan pilihan yang lebih bijak. Dan soal si sopir truk, mereka barangkali ialah mantan pebalap F1. Tak butuh waktu lama hingga Church tewas tergilas. Tuh kan?

Halaman belakang punya daya tarik yang lebih mistis. Tak jauh dari belakang rumah, ada sebuah pemakaman binatang nyaris di tengah hutan, yang punya papan nama lama bertulis "Pet Sematary" alih-alih "Pet Cemetery". Kadang-kadang segerombolan bawah umur setempat berbaris disana sembari menggunakan topeng binatang yang menakutkan. Yap, tidak mencurigakan sama sekali.

Yang lebih mistis lagi ialah area di belakang Pet Sematary. Louis mengetahui hal ini dari tetangganya, Jud (John Lithgow). Karena satu alasan dan lainnya, Jud ujug-ujug menyarankan untuk mengubur Church disana. Konon, binatang apa pun yang dikubur di tempat tersebut sanggup hidup kembali. Kalau saja Louis mendapatkan ajal Church dengan ikhlas, menguburnya di lokasi normal, kemudian move-on dengan merawat kucing baru. Tapi tentu saja tidak demikian. Louis merasa perlu untuk mengubur kucingnya di tempat paling mencurigakan atas saran dari seorang tetangga yang paling mencurigakan.

Bagi yang tak tahu kisah aslinya, saya tidak sedang meng-spoiler dengan mengungkapkan bahwa Jud ialah orang jahat. Faktanya, Jud lah yang pertama memberitahu bahwa area belakang sangat berbahaya. Louis sendiri sudah menerima "peringatan" berupa wangsit via mimpi buruk. Tapi tentu saja tidak demikian. Para laki-laki yang punya kecerdikan ini merasa perlu untuk melaksanakan hal mencurigakan di area yang mencurigakan.

Church rupanya memang kembali hidup. Hanya saja, ia sekarang berbeda. Kucing lucu ini jadi pemarah, suka mencakar dan menggigit sembarangan, bahkan ke Ellie. Ternyata, semua yang dihidupkan kembali dari tanah terkutuk tadi memang takkan sama ibarat semula. Begitu kata Jud. Lah, kalau sudah tahu bakal membawa bencana, kenapa lu kasih saran dari awal, Fergusooo?!!!

Bahkan sehabis menyaksikan kucing zombie ini; bahkan sehabis guggling dan tahu bahwa tanah terkutuk tadi punya sejarah yang menyeramkan, Louis masih saja mencari solusi kesana dikala sebuah peristiwa besar menimpa keluarganya (btw, tragedinya lagi-lagi gara-gara truk F1). Saya tahu bahwa ini semua dilakukan sebagai tindakan keputusasaan alasannya ialah tidak sanggup lepas dari sesuatu yang disayangi. Namun film ini tak menciptakan saya sanggup merasakannya. Keputusasaan memang sanggup menutupi logika, tapi para huruf kita masih mengerti akan ancaman bahkan di titik nadir sekalipun.

Versi film lawasnya ditulis sendiri oleh sang novelis, maestro literatur horor Stephen King. Untuk versi remake, skrip ditulis oleh Jeff Buhler, yang melaksanakan beberapa perubahan di detail meski secara garis besar strukturnya tetap sama. Film ini tentu saja lebih baik dibanding versi lama yang punya tone berantakan. Kualitas akting pemain dan tata produksi lebih konsisten. Sutradara Kevin Kölsch & Dennis Widmyer juga berhasil menyajikan beberapa sekuens yang atmosferik.

Namun, saya masih mendapati film ini punya persoalan yang sama dengan film yang lalu. Ia tidak melaksanakan improvement wacana latar belakang emosinya. Versi gres bahkan dengan nekat memperlihatkan sebuah ending yang akan terasa jauh lebih kelam dibanding film lawasnya kalau saja ia berhasil merampungkan permasalahan yang mendasar tadi. Saya tak sanggup membandingkan dengan novel orisinal King, entah yang ini lebih sanggup menangkap esensinya atau tidak. Semoga tidak. Barangkali versi filmnya memang tak perlu dihidupkan kembali. Sometimes dead is better. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Pet Sematary

101 menit
Remaja - BO
Kevin Kölsch, Dennis Widmyer
Jeff Buhler (screenplay), Matt Greenberg (cerita), Stephen King (novel)
Lorenzo di Bonaventura, Mark Vahradian, Steven Schneider
Laurie Rose
Christopher Young

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Pet Sematary' (2019)"

Post a Comment