Saya jadi mau berterima kasih kepada petugas sensor yang sudah memotong film ini beberapa menit.
“Okay, I'd appreciate a prophecy with more relatable stakes.”Rating UP:
— Hellboy
Saya tak percaya apa yang gres saja saya saksikan (atau lebih tepatnya, apa yang TIDAK saya saksikan *uhuk*): Hellboy yaitu film dengan sensor paling banyak dan serampangan yang pernah saya tonton di bioskop. Iya, sebelumnya memang ada Kingsman dengan adegan pembantaian gereja yang legendaris itu. Namun ini cuma sekali (ada lagi deng, tapi anda paham maksud saya) dan tak begitu kuat pada flow cerita. Sementara dalam Hellboy terjadi sangat sering dan terlalu kentara hingga merusak momentum. Sebagian besar dari anda yang yaitu penikmat film niscaya sudah punya mata yang terlatih untuk menebak yang mana.
Dasar tukang sensor sialan. Memotong film seenak jidat. Filmnya kan jadi ancur. Penonton kan jadi kesel. Wajah teman nonton saya yang bagus eksklusif berubah kusut pas pulang. Kalau sudah begini siapa yang tanggung jawab coba. Andai saja gak disensor ibarat tadi, filmnya kan bakal…
… sama aja sih ancurnya.
Lha gimana, sepanjang pengamatan saya, siapa pun yang mengerjakan editing dan skrip film ini melaksanakan kerja yang sama sempurnanya dengan siapa pun yang menyensor. Plot yang meloncat tak karuan, cut yang tidak mulus, framing yang sekenanya, memperlihatkan kesan seakan-akan film ini disensor hampir tiap detik.
Saya jadi mau berterima kasih kepada petugas sensor alasannya yaitu gres saja mengurangi derita kebosanan saya walau cuma beberapa menit.
Hellboy yaitu film penyesuaian ketiga dari komik produksi Dark Horse ciptaan Mike Mignola. Film ini katanya lebih deket secara atmosfer dengan bahan sumber dibanding dua film Hellboy sebelumnya yang digarap auteur Guillermo del Toro. Jika sebelumnya sang abjad tituler diperankan oleh Ron Perlman, kali ini kita akan berhadapan dengan David Harbour, bintang serial Stranger Things. Jika sebelumnya kita dibawa masuk ke dalam dongeng kelam yang eksentrik, kali ini kita terjun ke dalam neraka yang beringas.
Tak begitu mengejutkan, alasannya yaitu sutradaranya yaitu Neil Marshall, orang yang pernah menggarap The Descent, salah satu horor paling mengguncang yang pernah saya tonton. Hellboy versi gres erat betul dengan kesadisan. Kepala dipenggal, tubuh dipotong, mata dicolok, isi perut berserakan, serta pembantaian yang terjadi pada manusia, monster dan segala macam makhluk lewat cara yang mengerikan yaitu adegan yang rutin berseliweran.
Semua itu menciptakan film ini layak menyandang rating "R/Dewasa". Tapi kemudian, anda kemungkinan besar akan bertanya balik: apa betul saya nrimo mendapat sesuatu yang edgy dengan menumbalkan abjad dan dongeng yang (setidaknya) sedikit mengikat?
Padahal Hellboy punya banyak abjad dan cerita. Karakter utama kita masih seorang setan merah dengan ajun batu, yang bekerja di Biro Penelitian dan Pertahanan Mistis yang dipimpin ayah angkatnya sendiri, Trevor Bruttelholm (Ian McShane). Banyak yang mencerca keberadaannya, tapi ia yaitu cita-cita terakhir bagi umat insan dalam melawan serbuan demit.
Salah satunya yaitu seorang (?) monster babi yang tengah berusaha untuk mengumpulkan potongan tubuh dari Nimue si Ratu Darah (Milla Jovovich). Makara ceritanya, dulu Nimue dipenggal dan dimutilasi oleh seorang raja tak populer yang berjulukan King Arthur. Untuk mencegah kebangkitan si penyihir kekal tersebut, King Arthur tetapkan untuk menyebar potongan tubuhnya di banyak sekali tempat. Btw, sembari tubuhnya terkumpul semua, Nimue sempat menonton televisi dan mengganti channel... dengan memencet remot memakai tangannya yang belum tersambung.
Hellboy juga harus berhadapan dengan insan kelelawar, raksasa, organisasi diam-diam dengan kegiatan misterius, dan nenek-nenek menyeramkan yang bisa melipat punggung. Disini kita bisa mengintip sekilas kekerenan yang potensial disuguhkan oleh Marshall. Misalnya lewat sekuens pertarungan melawan 3 raksasa yang punya sensasi one-take ala-ala dengan mengambil perspektif ground level. Atau kreasi komikal ketika menampilkan monster rumah kuno yang bisa berjalan alasannya yaitu punya kaki ayam raksasa.
Ini terdengar tidak masuk akal, alasannya yaitu memang tidak masuk akal. Detail-detail tersebut tidak membantu narasi besar film. Cerita Hellboy semacam awut-awutan dimana-mana, tak menemukan benang merah yang mantap hingga akhir. Kesannya ibarat menjejalkan puluhan episode buku komik ke dalam satu film, meloncat dari satu setpiece ke setpiece berikutnya. Untuk ukuran film dengan peristiwa level kiamat, film ini nyaris tak punya sensasi bahaya. Dan untuk memastikan bahwa apa pun yang dilakukan Hellboy itu keren, maka film mendampingi aksinya dengan soundtrack penuh distorsi.
Lalu tiba-tiba film ingat bahwa Hellboy harus punya partner. Maka datanglah sekonyong-komyong Alice (Sasha Lane), cukup umur yang punya ilmu cenayang, serta Ben Daimio (Daniel Day Kim), oom-oom sixpack yang punya kemampuan berubah jadi jaguar. Kalau anda ingin tahu siapa mereka, semua abjad akan menjelaskan masa kemudian semua abjad lewat banyak adegan flashback. Saat Daimio mulai bercerita soal asal mula luka di wajahnya, saya menghela napas panjang. Dan tidak usahlah mempedulikan hero pembasmi Nazi yang berjulukan Lobster Johnson (Thomas Haden Church). Sebab, ia cuma nyasar dan tiba dari film lain yang lebih seru.
Harbour punya penampilan yang cukup sebagai setan pemabuk yang temperamen dan suka nyeletuk sekenanya, mulai dari yang beneran kocak hingga yang jayus asli. Yah, bersama-sama semua orang disini suka nyeletuk sih, alasannya yaitu di film blockbuster jaman sekarang, nyeletuk = fun. Namun kita butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan Hellboy versinya, beda dengan versi Perlman yang eksklusif ngeklik semenjak detik pertama. Harbour bisa menghandel sikap slengek'an dari karakternya, tapi Perlman lah yang punya hati. Tak ada drama-dramanya ketika momen puncak dimana Hellboy berdialog hati-ke-hati dengan ayah angkatnya. Oh iya, mungkin ini alasannya yaitu kita kita teralihlan dengan pengaruh Istimewa yang menggelikan.
Film ini saking menjemukannya menciptakan dua jam jadi terasa usang sekali. Untungnya saya menemukan hiburan tersendiri. Jurus dari salah satu abjad sampingan berhasil menghadirkan teror yang niscaya traumatis bagi balita yang menonton bersama saya. Saya kasihan dengan mereka, tapi saya menikmati mulut panik dan menyesal dari orangtua mereka. Apakah saya akan menonton film ini lagi ketika versi uncensored-nya dirilis? Tentu saja. Meski begitu, saya rasa ratingnya tak akan berubah; paling cuma naik 0,5 saja.
1,5 masih terbilang buruk sih. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Hellboy' (2019)"
Post a Comment