Review Film: 'One Cut Of The Dead' (2018)

Kalau menyerupai Chiki berhadiah Tazos tadi, menyaksikan film ini sama dengan mendapat Tazos Pikachu yang belum dipunyai teman-teman.

“This is true filmmaking.”
— Higurashi
Rating UP:
Hidup memang kadangkala mirip membeli Chiki berhadiah tazos Pokemon. Kita gres akan tahu apa yang kita sanggup ketika kita mendapatkannya. Kalau belum dibuka, kita belum tahu bakal mendapat Pokemon apa. Syukur-syukur hoki kemudian sanggup Pokemon langka. Kalau lagi sial, yaa koleksi Bulbasaur nambah lagi di tumpukan yang udah bejibun. Hubungannya dengan One Cut of the Dead? Kalau menyerupai Chiki berhadiah Tazos tadi, menyaksikan film ini sama dengan mendapat Tazos Pikachu yang belum dipunyai teman-teman.

Ini yang baca trus ngangguk-ngangguk sendiri, saya cuma mau ngasih tau: selamat, anda terkena jebakan umur.


Saya awalnya mengira film ini ialah film ampas. Eeeh siapa sangka, ternyata ia ialah film sederhana yang sangat cerdas. Kemasannya yang ampas rupanya cuma pencitraan belaka untuk melemparkan ekspektasi kita keluar jendela demi menawarkan sebuah komedi yang jenius. Saya sudah sering menonton film yang mengolok atau memparodikan genre zombie, tapi tak ada yang secerdas One Cut of the Dead. Padahal dagelan besarnya cuma satu, tapi itu bertahan dengan gemilang hingga final film. "Ampas" tak bersinonim dengan "tidak kompeten".

Tenang saja, saya takkan mengungkap dagelan tersebut. Menemukannya sendiri ialah esensi utama dari film. Namun saya boleh memberi tahu ini: kata "One Cut" di judulnya rupanya tidak main-main. Hampir separuh durasi direkam secara one take alias tanpa terputus. Anda tentu tahu bagaimana sulitnya menciptakan adegan one take, alasannya ialah ia melibatkan banyak elemen yang bergerak secara bersamaan sementara kamera tak boleh berhenti mengambil gambar. Adegan tembak-tembakan one take di Children of Men-nya Alfonso Cuaron yang durasinya kurang dari 10 menit butuh persiapan selama dua minggu. One Cut of the Dead melaksanakan itu selama 37 menit.

Tentu saja adegan di film ini tak seepik dan seelegan dengan yang di Children of Men. Kualitasnya gres berada di level amatiran. Gerakan kameranya serampangan. Akting para aktornya canggung. Dialognya norak. Gambarnya mengindikasikan bahwa kamera yang digunakan ialah kamera murahan. Tapi ia melaksanakan fungsi dasarnya sebagai adegan one take dengan baik, yaitu menjaga ketegangan, bukan cuma dari apa yang keluar di layar melainkan juga dari keberhasilannya memancing rasa ingin tahu kita untuk menerangkan apa betul film bisa mempertahankan one take-nya hingga akhir. Dan ini penting. Bagian ini harus bekerja; kalau gagal, bahaya. Ada jenis film ampas yang menciptakan kita tak tahan lama-lama menonton, tapi One Cut of the Dead menciptakan saya betah menyaksikan keampasannya.

Saya kira sangat membantu jikalau kita sebelumnya tahu bahwa Jepang dikenal tak malu-malu menciptakan film-film abstrak (baca daftar ini dan anda akan terkejut menemukan bahwa Kamen Hentai belum termasuk di dalamnya). Akan lebih membantu lagi kalau anda juga kebetulan suka menonton film-film sinting. Sebab, premisnya sendiri sudah sinting. Lagipula, anda niscaya juga bakal memaklumi keamatirannya. Film dibuka dengan adegan dimana seorang cewek berjulukan Chinatsu yang hampir digigit oleh pacarnya Ko yang sudah bermetamorfosis zombie. Tapi akting Chinatsu kok yaa gak meyakinkan.

"Cut!!!" teriak sutradara Higurashi.

Ooh rupanya ini lagi syuting film. Walaupun film murahan, sutradara Higurashi punya standar tinggi. Ia tak puas dengan akting si cewek, dan ini ternyata sudah take ke-42. Sutradara Higurashi mencak-mencak keluar dari lokasi syuting, sementara tukang make-up Nao berusaha menenangkan Chinatsu dan Ko. Kemudian mereka bercengkerama sejenak, membahas hal-hal remeh yang gak nyambung—koreksi: sangat sangat sangat gak nyambung. Meski begitu, kita tahu dari Nao bahwa lokasi syuting ialah pabrik lama yang ternyata dulunya merupakan lab penelitian mayit hidup. Dan gosipnya, sutradara Higurashi ini bakal melaksanakan sesuatu yang terlarang.

Kita belum akan tahu itu. Yang jelas, keadaan tiba-tiba menjadi berbahaya. Ini bukan lagi syuting film zombie, tapi sudah jadi kekacauan zombie beneran. Salah satu kru gres saja digigit oleh zombie yang tiba dari luar gedung kemudian ia pun bermetamorfosis zombie sungguhan. Semua kru terancam. Darah awut-awutan dimana-mana. Tapi Higurashi ialah sutradara sinting. Bukannya takut, ia malah tertawa kegirangan, menganggap ini sebagai kesempatan untuk mendapat adegan zombie yang otentik. Ia lantas menyuruh kru yang tersisa untuk terus merekam, tak peduli sudah berapa banyak korban yang berjatuhan.

Di menit-menit awal, saya kira kita menonton filmnya lewat Mata Tuhan, alias kamera merupakan entitas yang terpisah dari adegan di layar. Namun, kecacatan terjadi; di satu titik, kamera ikut kecipratan darah, bahkan terjatuh. Jelas, kameramen merupakan penggalan dari film. Jangan-jangan... mungkinkah ini satu lagi horor bertipe found-footage? Kalau begitu, kameramen pun niscaya tak luput dari ancaman kan yah? Tapi kok sejauh ini aman-aman saja? Saya menunggu dengan tegang.

Huru-hara berdarah yang brutal dan konyol ini gres penggalan pertama dari film. Di penggalan kedua, kita meloncat mundur ke 1 bulan yang kemudian dan melihat bagaimana para kru bisa terlibat dalam semua ini. Sutradara Higurashi ternyata awalnya tak sesinting itu. Faktanya, ia ialah laki-laki yang lembut dan sayang keluarga. Meski skill-nya biasa-biasa saja, ia direkrut oleh sebuah stasiun televisi untuk menciptakan film perihal zombie. Boamat kalau jelek, yang penting jadi. Kita juga mempelajari latar belakang kru lainnya. Kemudian... yah, tak ada yang mempersiapkan saya bakal melihat kelanjutannya. Saya harap saya juga tak jadi kurang asuh dengan menciptakan anda siap.

Ide dari film ini bahu-membahu simpel, tapi rasanya belum ada yang kepikiran untuk menggarapnya mirip ini. Ia dibangun dengan sangat cermat. Detail-detail yang paling kecil pun sangat diperhatikan. Hal-hal remeh yang barangkali luput dari perhatian kita, rupanya menjadi hal yang sangat penting di akhir. Pengadeganannya lebih rumit daripada yang kita kira. Menyaksikan hal yang sama tapi dengan perspektif yang berbeda rupanya benar-benar bisa merubah emosi dengan amat drastis.

Saya baca di Wikipedia, sutradaranya berjulukan Shinichiro Ueda. Katanya ia menciptakan film ini hanya seminggu sehabis mengikuti sebuah seminar film. Kalau benar begitu, maka Ueda ialah jenius. Setidaknya dalam hal filmmaking berbujet minim. Ia terlihat memahami betul hakikat pembuatan film. Dari film ini terlihat bagaimana ia bisa berkompromi serta bermain-main dengan proses filmmaking. Alih-alih terbatasi, ia justru mengeksplorasi kemungkinan yang bisa dihadirkan lewat kerecehan filmnya. Atau boleh jadi Ueda hanya ingin memamerkan antusiasme dan kecintaannya akan filmmaking itu sendiri.

Bisakah sebuah film ampas bisa menjadi lebih baik hanya dengan antusiasme belaka? The Room-nya Tommy Wiseau sudah menerangkan tidak bisa. Namun One Cut of the Dead lebih dari sekadar film ampas berenergi tinggi. Para pemainnya memang sangat enerjik, dan filmnya sendiri punya momentum yang luar biasa. Namun film ini juga sangat arif memainkan premisnya. Jika ada film yang pantas ditonton ulang, maka One Cut of The Dead ialah salah satunya.

Saya koreksi. One Cut of the Dead ialah film yang harus ditonton ulang. Saat anda sudah tahu bagaimana permainannya, gigitannya justru tambah mematikan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

One Cut of the Dead

97 menit
Dewasa
Shinichiro Ueda
Shinichiro Ueda
Koji Ichihashi
Tsuyoshi Sone
Nobuhiro Suzuki, Kailu Nagai

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'One Cut Of The Dead' (2018)"

Post a Comment