Review Film: 'Brightburn' (2019)

Tidak ada hal gres yang, katakanlah, bisa membalik ekspektasi kita.

“Maybe there is something wrong with Brandon. He may look like us. He's not like us!”
— Mr. Bryer
Rating UP:
Kita sudah kenal betul dengan Superman. Sebagai superhero pertama dan paling ikonik, ia ialah standar dari semua superhero; punya kesaktian mandraguna dan hati yang mulia. Ia memakai kekuatannya hanya untuk kebajikan (dan sekali-sekali, untuk pacaran). Kita juga sudah sedemikian khatam luar kepala soal dongeng hidupnya sampai eksklusif bisa menunjuk film yang menconteknya. Nah, Brightburn adalah film yang mengeksploitasi familiaritas tersebut dengan pendekatan yang kedengaran seru: bagaimana kalau alien menyerupai insan yang dikirim ke bumi bukanlah seorang yang suci melainkan seorang psikopat?


Dengan konsep tersebut, kita kira dongeng film sudah tertulis secara otomatis. Di satu sisi, kita bisa melihat bahwa film akan menampilkan aneka macam macam "hal-hal Superman", tapi kali ini dalam versi jahat. Atau mungkin sebaliknya, berfokus pada psikologi entitas keji ini dan orang-orang di sekitarnya yang tidak menyangka bencana apa yang bisa dibawanya. Sayangnya, untuk ukuran film dengan wangsit yang visioner, ia tak bisa terbang terlalu jauh dengan premisnya. Brightburn dijual dengan jargon "film Superman jahat dalam kemasan horor". Dan, ia bermain sama persis menyerupai apa yang kita bayangkan sebelum menonton.

Bagian awal ialah kopian berbujet murah dari dongeng Superman yang sudah kita tahu. Seorang anak alien mendarat di akrab rumah milik pasangan suami-istri tanpa anak yang berada di tempat pinggiran. Lengkap dengan kebun dan gudang. Pasangan tersebut ialah keluarga Breyer (Elizabeth Banks dan David Denman) yang memutuskan untuk mengadopsi sang anak alasannya ialah mereka memang sudah usang mendambakan momongan. Mereka memberinya nama Brandon (Jackson A. Dunn).

Selama 10 tahun, Brandon tumbuh menyerupai anak normal walau agak sedikit introvert. Ia segera menyadari bahwa ia lebih superior dibanding belum dewasa yang lain. Ia punya kecerdasan di atas rata-rata dan tak pernah terluka. Ia juga sering mendengar bisikan-bisikan aneh dari dalam gudang ketika tengah tertidur. Ketika Brandon tahu bahwa ia lebih dari anak istimewa, ia malah memanfaatkan kemampuannya untuk melenyapkan semua yang menghalanginya.

Nah, patut anda ketahui, bocah ini menjadi jahat bukan alasannya ialah salah asuhan atau mengalami peristiwa dadakan. Ia memang sudah dasarnya punya pribadi yang tak beres. Orangtuanya membesarkannya dengan hangat. Saat ia mematahkan tangan anak cewek hanya lewat salaman, sang ibu cuma bilang ini gara-gara puber dimana tubuhnya sedang berkembang. Saat saya puber, saya punya kemampuan super untuk menumbuhkan benjol di seluruh bab badan saya. Hanya sang ayah yang mulai curiga, alasannya ialah ia ingat bahwa Brandon tak pernah terluka sepanjang hidupnya

Ooh, dan juga alasannya ialah Brandon ngomong-ngomong ADALAH ALIEN YANG JATUH DARI LANGIT!!!

Brightburn memainkan ini dengan sangat serius, nyaris depresif. Demikian juga dengan penampilan aktornya. Elizabeth Banks ialah seorang ibu yang tetap menganggap Brandon sebagai buah hati yang masih murni, terlepas dari apa pun yang dilakukan anaknya tersebut. Tentu saja, ia sama sekali mengabaikan fakta bahwa jaket sang anak berlumur darah. Gregory Alan Williams ialah kepala polisi yang sangat meragukan Brandon, yang menciptakan saya penasaran, kok bisa sebegitu banget meragukan Brandon untuk kasus pembunuhan besar yang tak mungkin dilakukan anak-anak. Iya, Brandon memang betul melakukannya. Namun, sang polisi kan gak punya petunjuk selain inisial nama. Mungkin alasannya ialah kebanyakan nonton horor kali yak.

Film ini diproduseri oleh James Gunn yang sebelumnya sukses membawa tim superhero eksentrik Guardians of the Galaxy ke layar lebar. Skripnya sendiri ditulis oleh adik dan sepupu James, Brian Gunn dan Mark Gunn. Mereka tahu bahwa mereka punya wangsit plesetan yang cemerlang di tangan, jadi mereka dengan cerdas menyentil beberapa rujukan terhadap bahan yang mereka plesetkan. Namun mereka tak bisa mengemasnya menjadi dongeng yang menarik. Apa yang terjadi ketika ada bocah Superman tak menyukai seseorang ialah hal yang sangat predictable disini. Tidak ada ketegangan yang berarti, alasannya ialah kita sudah tahu persis apa yang meneror dan para korban tidak mungkin bisa menghindarinya. Tidak ada hal gres yang, katakanlah, bisa membalik ekspektasi kita.

Jadi, yang tersisa ialah pertunjukan seberapa kreatif si bocah Superman meneror korbannya. Yang bahwasanya cukup menghibur (sekaligus menciptakan ngilu) walau terasa tidak mengecewakan diulur-ulur dan kuantitasnya tak begitu banyak. Sebagai contoh, adegan sadis pertama ialah adegan mencabut kepingan beling dari bola mata... yang diperlihatkan secara eksplisit. Itu gres yang paling ringan. Horornya berasal dari visual, bukan dari pembangunan situasi atau karakter.

Sekilas melintas di medsos, saya menjumpai ada yang membandingkan film ini dengan We Need to Talk about Kevin, film yang juga bercerita mengenai seorang anak keji yang suka menyiksa orang meski asal mula kekejiannya beda. Saya rasa komparasi ini memperlihatkan kesan kurang menghormati film brilian dari Lynne Ramsay tersebut. We Need to Talk about Kevin benar-benar menciptakan kita larut dengan psikologis karakternya, sehingga di momen puncak yang melibatkan sang ibu, kita dibentuk hancur berkeping-keping menyaksikan hal yang tak terelakkan terjadi. Dalam Brightburn, momen menyerupai ini lebih terasa menyerupai langkah logis berikutnya yang harus dilakukan Brandon. Apa setelah ini? Barangkali bergabung dengan tim supervillain. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Brightburn

90 menit
Remaja - BO
David Yarovesky
Mark Gunn, Brian Gunn
James Gunn, Kenneth Huang
Michael Dallatorre
Timothy Williams

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Brightburn' (2019)"

Post a Comment