Review Film: 'The Equalizer 2' (2018)

Sepanjang Denzel Washington mau, film ini mungkin masih akan berlanjut. Dan kalau pun tidak, saya juga takkan kecele.

“Man ain't spelled G-U-N.”
— Robert McCall
Rating UP:
Dalam The Equalizer 2, Denzel Washington bermain sebagai sopir taksi online, tapi bukan sopir taksi online biasa. Ia yaitu mantan distributor khusus yang siap mengekualisasi ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya tanpa kompromi, dan kalau ada yang macam-macam, ia siap menembakkan peluru, menikam dada, membeset leher, dan mematahkan tulang, bukan sekedar untuk melumpuhkan tapi dengan niat membunuh. Ia yaitu pahlawan brutal dengan samaran sebagai warga biasa yang kali ini kebetulan berprofesi sebagai sopir taksi online.

Dan untuk memastikan semua —maksud saya, SEMUA— pelanggan memberikannya rating 5 bintang, ia sempat menerapkan metode "persuasif" yang saya rasa terkeji sepanjang sejarah pertaksian online.

Ralat, saya yakin. Hati-hati dikala memesan taksi online.


Barangkali anda sudah tahu akan tendensi sadisme dari huruf Washington yang berjulukan Robert McCall tersebut, terutama kalau anda sudah menonton film pertamanya yang merupakan pembiasaan dari serial TV kala 80an. Namun, anda sebetulnya tak harus menonton film pertamanya itu supaya bisa mencerna film ini. The Equalizer 2 yaitu film aksi-thriller yang relatif generik dengan dongeng yang simpel-tapi-ribet dan huruf tipis, tapi terangkat dengan signifikan berkat karisma Denzel Washington.

Dalam film pertama, McCall yaitu karyawan sebuah toko perkakas. Kita bisa maklum pada bos McCall yang niscaya memecatnya sesudah memporak-porandakan toko dikala menebas mafia. Makara McCall harus mencari pekerjaan baru. Dan lantaran ia sudah merangkul penuh profesi sampingannya sebagai superhero jalanan, pekerjaan sebagai sopir taksi online tampaknya pekerjaan yang tepat... dan bonafit. Kalau tidak, tak mungkin dong McCall bisa membiayai fasilitas ke Turki untuk menyamar sebagai muslim berkopiah demi menyelamatkan seorang anak gadis.

Informan McCall yaitu Susan (Melissa Leo), sahabat sekaligus rekan kerjanya di agensi dulu, serta suami Susan, Brian (Bill Pullman). Sementara sesekali memelatuque orang-orang jahat, McCall juga berbuat amal kecil bagi orang-orang di sekitarnya, contohnya membantu seorang korban Holocaust (Orson Bean) yang mencari informasi soal keluarganya, atau tetangga yang dindingnya dicoreti grafiti oleh cukup umur bandel. Masalah terakhir membuatnya berkenalan dengan bocah setempat (Ashton Sanders) yang hobi menggambar.

Cerita sebetulnya gres berjalan dikala Susan menilik sebuah masalah pembunuhan. Situasi berubah kacau, dan ini menciptakan kasusnya menjadi (((personal))) bagi McCall alasannya pelakunya yaitu pembunuh bayaran yang ingin melenyapkan "semua yang belum tuntas". Sekarang McCall punya misi balas dendam. Tapi serius, ini cuma alasan untuk menjustifikasi McCall dalam melenyapkan nyawa orang tanpa kompromi dan tanpa keraguan, siapa pun mereka.

Tapi McCall tak buru-buru. Sebab ia masih punya waktu untuk membantu korban Holocaust kemarin serta memberi wejangan pada huruf Sanders yang lebih tertarik masuk geng daripada sekolah. Dan ini bukan cuma sempilan belaka, alasannya dongeng —yang ditulis oleh Richard Wenk— memberikannya subplot ini masing-masing payoff yang sayangnya tak klik dengan film secara keseluruhan. Ini menciptakan ritme filmnya terasa sedikit bertele-tele seiring filmnya yang mencoba menyuguhkan beberapa dongeng di dikala bersamaan.

Meski begitu, siapa yang nonton film The Equalizer lantaran plotnya? Sebagaimana yang anda tahu, saya sangat suka film pertamanya bahkan hingga memasukkannya sebagai salah satu film favorit di 2014 (apelo, apelo). Plot disana berfungsi sebagai build-up menjelang agresi membabi-buta yang dilakukan McCall, sementara keseruan filmnya berasal dari kebrutalan agresi serta pembawaan unik dari Washington. Karakter McCall sebetulnya membosankan, tapi Istimewa lantaran punya attitude kalem di balik kegaharannya, sehingga jadi sangat mendebarkan dikala ia kesannya beraksi dengan sadis.

The Equalizer 2 sedikit mengesampingkan itu untuk lebih berfokus pada plot dan karakterisasi McCall yang jujur saja sangat klise, McCall jadinya terasa kurang greget. Di lain sisi, sekuens aksinya yang meski sangat terbatas disajikan dengan kompeten oleh sutradara Antoine Fuqua yang juga menggarap film pertama. Gimik huruf McCall yang bisa memanfaatkan benda apapun di sekitarnya untuk membantai orang masih tetap seru untuk disaksikan. Adegan titik puncak berlangsung di area yang dilanda badai, dan kita masuk akal kalau bertanya: kenapa para penjahat mau saja dipancing oleh McCall kesana? Biar bisa dibantai McCall dengan mudah, tentu saja. Dan bagaimana McCall bisa tak dikejar polisi atas semua aksinya menghabisi nyawa banyak orang yaitu alasan kenapa film ini semoga jangan ditanggapi seserius tone-nya.

Film ini barangkali memecahkan semacam rekor dengan menjadi film pertama yang bisa memecah ke-keukeuh-an Denzel Washington sepanjang karirnya untuk tidak bermain dalam sebuah sekuel. Namun itu tak otomatis menyimpulkan bahwa The Equalizer 2 begitu manis hingga Washington merasa sayang untuk melewatkannya. Dari yang saya tonton, saya hampir yakin bahwa bukan prospek sekuel ini yang menarik Washington, melainkan justru kesediaannya untuk melanjutkan lah yang menarik kemungkinan hadirnya sekuel. Ia bisa melaksanakan apa saja dengan baik, bahkan menciptakan monolog garing menjadi terdengar berbobot. Sepanjang ia mau, film ini mungkin masih akan berlanjut. Dan kalau pun tidak, saya juga takkan kecele. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Equalizer 2

121 menit
Dewasa
Antoine Fuqua
Richard Wenk
Todd Black, Jason Blumenthal, Denzel Washington, Alex Siskin, Steve Tisch, Antoine Fuqua, Mace Neufeld, Tony Eldridge, Michael Sloan
Oliver Wood
Harry Gregson-Williams

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'The Equalizer 2' (2018)"

Post a Comment