Review Film: 'John Wick: Chapter 3 – Parabellum' (2019)

Film ini memang jauh lebih brutal dan mematikan dibanding pendahulunya. Namun ia kalah elegan dan stylish.

“Consequences.”
— John Wick
Rating UP:
Saya memperkirakan sekitar 90% dari total penonton John Wick: Chapter 3 - Parabellum sudah menonton film sebelumnya. Maka, dapat ditarik deduksi bahwa hampir semua penonton sudah tahu niscaya apa yang dicari dalam film John Wick. Yang ingin diliat ialah John Wick, atau lebih tepatnya Keanu Reeves, membantai banyak orang. Tak ada yang dapat membantai ibarat John Wick dan film ketiganya ini menampilkan lebih banyak pembantaian.


Serius. Film ini layak mendapat semacam award atas kesintingannya dalam hal tersebut. Ini beberapa yang terpikirkan oleh saya: (1) film dengan jumlah pembunuhan paling banyak di depan layar, (2) film dengan penggunaan pisau (dan variannya) terbanyak, (3) film dengan penggunaan pistol (dan konsumsi peluru) terbanyak, (4) film yang menampilkan pembunuhan terbanyak oleh dua ekor anjing, (5) film dengan jumlah penikaman kepala terbanyak, serta (6) film yang mecahin beling paling banyak. Tentu masih ada rekor-rekor yang lain, silakan anda temukan sendiri.

Ada pula beberapa adegan langgar menggelikan yang barangkali hanya dapat ditampilkan dalam sebuah film John Wick semoga tak terlihat menggelikan. Misalnya, huruf utama kita yang menunggangi kuda di jalanan macet sembari menghindari tembakan dari atas motor. Atau adegan kejar-kejaran motor sembari melaksanakan pertarungan dengan pedang samurai.

Dengan ini, John Wick resmi masuk ke dalam ranah film komikal saling over-the-top-nya. Tapi jangan salah, semua ini ialah adegan langgar serius dengan penggarapan teknis yang mumpuni. Sutradara Chad Stahelski, dengan pengalamannya sebagai mantan stuntmen, terang sudah mencurahkan wangsit dan energi yang tak main-main untuk setiap sekuens aksinya. Semua koreografi agaknya sudah dikalkulasi dan dihukum dengan matang.

Film ini memang jauh lebih brutal dan mematikan dibanding pendahulunya. Namun ia kalah elegan dan stylish. Parabellum bisa dibilang lebih berfokus pada pertanyaan "berapa banyak" daripada "bagaimana". Meski begitu, di atas kemonotonannya, aku masih beberapa kali dibentuk kagum hanya dengan melihat apa yang terjadi di layar. Adegan kekerasan ditampilkan dengan gamblang, sehingga kita bahkan dapat melihat betapa banyak pengorbanan fisik yang diharapkan untuk satu adegan. Saya ingin tau bagaimana Keanu Reeves dan tim masih sehat walafiat sehabis melaksanakan hal berbahaya semacam itu.

Seluruh film ini ialah soal pembantaian. Kalau dirata-rata, aku memperkirakan setidaknya ada tiga nyawa setiap menit durasi. Plotnya bermain ibarat video game; John Wick berlarian dari satu lokasi spesifik ke lokasi lain, dimana di masing-masing lokasi, ia menghadapi aneka macam musuh yang aneka macam rupa dengan senjata yang bervariasi pula. Ini terdengar ibarat plot gampangan, tapi nyambung sih dengan saga John Wick secara keseluruhan.

Sebagaimana yang kita tahu dari film sebelumnya, John Wick telah melanggar instruksi etik dunia pembunuhan. Kita menemukannya berlarian di jalanan, hanya berselang beberapa menit dari final film kedua. Keanggotannya telah dicabut dari organisasi dan ia diberi status sebagai "excommunicado". Yang lebih parah, kepalanya dihargai $14 juta, yang membuatnya menjadi incaran hampir semua anggota organisasi. Dan alasannya ialah ini ialah semesta John Wick, maka anggota organisasi intinya ialah hampir semua orang, mulai dari pejalan kaki hingga gelandangan.

John Wick sudah sekali melanggar peraturan. Nah, ketika nanti berkunjung ke Maroko, ia melanggar lebih banyak peraturan bersama manajer Hotel Continental cabang Casablanca, Sofia (Halle Berry). Lagi-lagi, gara-gara anjing doang. Tapi anjingnya memang bukan anjing sembarangan sih. Anjing Sofia ini punya hobi khusus untuk menggigit selangkangan musuh.

Sungguh banyak hal menarik di dunia organisasi pembunuh ini, ibarat aturan soal perburuan dan hierarki organisasi itu sendiri. Aturan ini sendiri ternyata memang tak main-main. Sekali melanggar, niscaya diburu hingga mati. Bahkan termasuk orang-orang yang membantu, dalam hal ini manajer Hotel Continental cabang New York (Ian McShane) serta raja burung perkutut (Laurence Fishburne). Kreator John Wick, Derek Kolstad masih punya wangsit kreatif untuk mengekspansi semestanya. Namun kali ini terasa kurang organik dan agak dipaksakan. Sang ajudikator (Asia Kate Dillon) misalnya; ia ialah orang yang diutus oleh organisasi untuk mengoreksi pelanggaran. Idenya menarik tapi karakternya tak punya kehadiran yang besar lengan berkuasa dalam film.

Pertarungan puncak ialah menghadapi asisten ajudikator, yaitu seorang chef sushi (Mark Dacascos) yang ternyata punya segerombolan anak buah ninja dan petarung lintas negara. Tak ada pertarungan seasyik melawan Common dari film sebelumnya, tapi Cecep Arif Rahman dan Yayan Ruhian risikonya mendapat penghormatan yang layak dalam sebuah film Hollywood, bahkan berkesempatan ngobrol dalam bahasa Indonesia.

Setiap adegan langgar juga dihiasi dengan komedi situasi yang tetap sadis tapi juga kocak, yang sangat terbantu dengan muka lempengnya Keanu Reeves. Namun, sekuens tembak-tembakannya begitu banyak dan nyaris tanpa henti, indera aku jadi mulai sedikit tumpul. Saya kira lebih menarik menyaksikan John Wick membantai orang dengan benda-benda selain pistol. Saya menemukannya di bab awal film, ketika John Wick mematahkan rahang dengan buku tebal. Mari berharap semoga di sekuelnya, John Wick memakai lebih banyak ATK. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

John Wick: Chapter 3 – Parabellum

131 menit
Dewasa
Chad Stahelski
Derek Kolstad, Shay Hatten, Chris Colllins, Marc Abrams
Basil Iwanyk, Erica Lee
Dan Laustsen
Tyler Bates, Joel J. Richard

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'John Wick: Chapter 3 – Parabellum' (2019)"

Post a Comment