Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini ialah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang berjulukan Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan berjulukan Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang abjad memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sesungguhnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel ialah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero perempuan sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) bisa mengatasi bahaya Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapat film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya ialah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya ialah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, ialah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) menyerupai insan yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, alasannya ialah kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang angker menyerupai goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa bermetamorfosis siapa saja dengan kemiripan hingga ke DNA. Ada persoalan lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak gres yang berjulukan Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma digunakan untuk polesan saja, tak nempel denga tepat menyerupai Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa acuan budaya pop di periode tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh dikala mendengar lagu-lagu dari grup band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya alasannya ialah ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya ialah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya ialah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di kafe bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart dikala masih kecil. Jadi, sesungguhnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan persoalan ini. Ada pula sedikit detail anggun soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, sehabis paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck ialah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini ialah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson ialah aktris yang kompeten, mulut spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai abjad yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, contohnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai abjad yang cenderung kosong. Memang pada balasannya ia menemukan determinasi, tapi niscaya ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati ialah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin alasannya ialah sang abjad tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan Istimewa butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan dampak Istimewa dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali alasannya ialah saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia menyerupai makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya tidak mengecewakan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa menyerupai diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya ialah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi serpihan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Captain Marvel' (2019)"

Post a Comment