Review Film: 'Bohemian Rhapsody' (2018)

Film ini hanya melaksanakan ceklis atas apa-apa yang sudah kita ketahui soal Queen dan Freddie Mercury.

“Is this the real life?”
— Freddie Mercury
Rating UP:
Ada sebuah obrolan yang sangat menarik di pertengahan Bohemian Rhapsody, film biografi mengenai... yah, saya tak tahu harus menyebutnya apa, entah biografi grup band legendaris Queen atau biografi frontman-nya yang lebih legendaris, Freddie Mercury. Ketika seorang produser musik, Ray Foster (Mike Myers) memprotes lagu tersebut dengan menyebutnya "aneh", "kepanjangan" dan menyarankan Queen untuk merubahnya biar "sesuai dengan formula", Freddie (Rami Malek) balik berkomentar, "Formula itu cuma buang-buang waktu."

Kalau saja film ini mendengar petuah Freddie tersebut.


Anda tentu tahu dengan lagu "Bohemian Rhapsody" bukan? Lagu berdurasi hingga 6 menit yang boleh dibilang merupakan masterpiece Queen ini benar-benar menentang formula standar lagu mainstream. Lha gimana, liriknya gaje, berisi kata-kata tanpa konteks semacam "Galileo" atau "Bismillah", dan komposisinya ganjil, semacam adonan antara hard rock dengan opera. Ironisnya, film Bohemian Rhapsody sendiri yaitu film biografi yang standar. Sangat standar, hingga saya takkan menyalahkan anda jikalau menduga bahwa bahan film ini semata-mata bersumber dari laman Wikipedia.

Film ini hanya melaksanakan ceklis atas apa-apa yang sudah kita ketahui soal Queen dan Freddie Mercury. Dan untuk itu pun, ia masih saja memakai formula yang sudah jamak digunakan oleh banyak sekali film biopik musikal. Anda tahu formula menyerupai apa yang saya maksudkan. Saya kira film ini berasumsi bahwa kita eksklusif tahu bahwa Queen dan Freddie yaitu legend, lantaran Bohemian Rhapsody tak menceritakan atau memperlihatkan ke-legend-an (maafkan kosakata yang maksa ini) mereka sama sekali.

Sebagai permulaan, semenjak awal Queen sudah sehebat Queen yang kita kenal. Kelahiran dan perjalanan grup band ini begitu mulus hingga mereka menjadi sensasi global. Saat dua musisi, gitaris Brian May (Gwilym Lee) dan drummer Roger Taylor (Ben Hardy) menerima kabar bahwa vokalis mereka mengundurkan diri segera sesudah mereka tampil di sebuah panggung kecil, datanglah Freddie yang mengajukan diri menjadi pengganti. Tak lama, bergabunglah bassis John Deacon (Joseph Mazello). Dan sebelum anda selesai bilang "gila, gercep banget grup band ini cuy", Queen sudah punya manajer, album, dan tur internasional. Saya tahu itu tur internasional, lantaran ada montase pose Freddie yang dihiasi nama kota menyerupai New York, Rio, Kanada, Tokyo, dll.

Kecenderungan naratif Bohemian Rhapsody yaitu bertindak sebagai fanservice, menyisir semua hal-hal trivial yang ingin didengar/dilihat kembali oleh para penggemar. Misalnya, soal bagaimana Freddie lahir di Zanzibar dan punya nama orisinil Farrokh Bulsara. Atau dari mana asal mikrofon bertiang copot miliknya itu. Atau soal selera fashion-nya yang eksentrik. Demikian juga dengan proses penciptaan lagu-lagu Queen. Apakah anda ingin tahu seberapa banyak Freddie butuh kata "Galileo" di lagu "Bohemian Rhapsody"? Atau dari mana asal riff bass yang seksi di lagu "Another One Bites the Dust"?

Saya kira, di atas kertas film ini sudah memasukkan cukup bahan yang dibutuhkan. Namun caranya bercerita menciptakan film ini terasa dangkal. Alih-alih memperlihatkan narasi secara organik, film ini menyerupai sekedar mencoba memasukkan sebanyak mungkin cerita. Benar, kita melihat semua yang barangkali perlu kita lihat dalam sebuah biopik Queen/Freddie, baik soal musik, kehidupan pribadi, hingga skandalnya, tapi kita tak mencicipi keotentikannya. Proses kreatif di balik penciptaan lagu, meski menarik, tapi disuguhkan secara corny. Kentara sekali linimasanya meloncat-loncat.

Saya tahu film yang merangkum kisah hidup yang panjang memang perlu melaksanakan itu, tapi bukan hal yang anggun dikala penonton aware dengan hal tersebut ketika menonton. Bahkan perjuangan untuk membelokkan fakta sejarah (Freddie diceritakan mengakui dirinya mengidap AIDS persis sebelum konser Live Aid di tahun 1985, padahal itu terjadi beberapa tahun setelahnya) tak bisa mencapai titik katarsis yang dimaksudkan. Saya tak duduk perkara dengan pembelokan sejarah di film. Saya hanya tak tahan film yang sudah bertindak sejauh itu masih terasa membosankan.

Apakah ini ada hubungannya dengan keterlibatan eksklusif Brian May, Roger Taylor, dan manajer Queen, Jim Beach dalam film ini? Mungkin begitu. Mereka niscaya tak ingin grup band mereka berada dalam sorotan negatif. Ada sih beberapa, diantaranya tentu saja soal homoseksualitas Freddie, tapi ia menghindari kompleksitas untuk masuk lebih dalam. Road manager Queen, Paul Prenter (Allen Hutton) dikondisikan untuk menjadi musuh bersama yang menjatuhkan Freddie ke dunia hedon. Di lain sisi, keterlibatan mereka juga menjamin kualitas musik dalam film Bohemian Rhapsody, yang mana merupakan sesuatu yang sangat saya apresiasi.

Film dibuka dengan adegan dikala Freddie menaiki panggung Live Aid dan ditutup dengan penampilan spektakuler Queen di panggung yang juga menampilkan U2, The Who, Led Zeppelin, Elton John, Bob Dylan, Madonna, Eric Clapton, dan lusinan artis papan atas internasional lainnya ini. Dan di film, ini juga tampak spektakuler. Kabarnya adegan ini sudah disorot duluan sebelum sutradara Bryan Singer dipecat dan digantikan oleh Dexter Flecther. Singer bisa menghadirkan reka ulang konser ini dan menangkap energi di Wembley Stadium, hampir sama persis dengan aslinya. Mustahil anda tak merinding. Kalau tak merinding, jangan-jangan anda yaitu alien dari Mars yang menyamar di bumi.

Tentu saja Rami Malek tak mungkin bernyanyi menyerupai Freddie. Yah faktanya, tak ada yang bisa bernyanyi menyerupai Freddie. Namun, Malek terlihat cukup meyakinkan untuk tampil seenerjik Freddie di panggung. Setidaknya, KW satu deh. Saya tak menyangka Malek yang pendiam di serial Mr Robot bisa memerankan Freddie Mercury yang doyan belingsatan. Kita bisa pula mengintip sedikit sensitivitas yang barangkali bisa dihadirkan oleh Malek bagi Freddie, menyerupai dikala kekerabatan asmaranya dengan Mary (Lucy Boynton) mencapai titik nadir, tapi film tak memberi banyak ruang bagi Malek untuk itu.

Kadang-kadang saya tak tahu film Bohemian Rhapsody ini untuk apa. Film ini tak banyak mengungkap soal Freddie, dan anehnya, ia juga tak banyak mengungkap soal Queen. Tiga personil lainnya terkesan menyerupai sekedar latar belakang di kehidupan Freddie. Namun adegan simpulan tadi menyadarkan saya; mungkin film ini hadir cuma untuk mengingatkan kita soal legacy Queen dan lagu-lagunya yang legendaris, bukan untuk memperlihatkan insight mendalam dan urgen mengenai salah satu grup band rock terhebat sepanjang masa ini. Namun Queen tolong-menolong tak butuh itu. Kita kenal mereka dan lagu-lagunya (kalau anda tidak, ayo buka saja samaran anda, alien dari Mars!). Mereka yaitu legend, dan layak untuk sanggup film yang lebih dari sekedar "sesuai formula". ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Bohemian Rhapsody

134 menit
Remaja - BO
Bryan Singer
Anthony McCarten
Graham King, Jim Beach
Newton Thomas Sigel
John Ottman

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Bohemian Rhapsody' (2018)"

Post a Comment