Review Film: 'Glass' (2019)

Masalah utama dari 'Glass' yaitu film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya yaitu nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa membuat delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film epilog dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik lantaran ia melaksanakan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya yaitu nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia yaitu bubur. Sebuah perjuangan unfaedah yang sama keuntungannya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin lantaran perjuangan ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) alhasil akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebetulnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini yaitu semacam ilusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode Istimewa yang biasa digunakan pacar ketika tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, sampai kita eksklusif tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton gres dan penonton lama. Penonton gres akan kebingungan lantaran film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton usang tak menerima hal yang gres selain dari yang mereka sanggup dari film sebelumnya, lantaran Shyamalan tak membuatkan kisah dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya kisah dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal abjad utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn kini yaitu Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau kendaraan beroda empat yang akan berhamburan, lantaran mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata yaitu daerah dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini yaitu rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan semoga kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan susukan yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya yaitu menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melaksanakan pendekatan yang sama menyerupai Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan dampak spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi lisan yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada obrolan gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berafiliasi dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya kiprah penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan kiprah mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa menyerupai film superhero. Ia tak menampilkan sekuens agresi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa menggunakan elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak menerima sorotan berarti, setidaknya sampai menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan berilmu mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk memperlihatkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih anggun dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan inspirasi anggun dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya yaitu bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini yaitu titik puncak yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Glass' (2019)"

Post a Comment