Review Film: 'Aquaman' (2018)

Film solo perdana Aquaman ini memang sinting dan payah. Saya suka.

“This is bad-ass!”
— Arthur Curry
Rating UP:
Pertanyaan penting soal film Aquaman: bagaimana membuatnya? Memang, perkembangan teknologi sinema sudah begitu pesat hingga kita dapat menonton film perihal alien biru di planet imajiner yang hampir sepenuhnya dikreasi oleh komputer. Tapi sebuah film perihal pahlawan yang kebanyakan beraksi di dalam air dan punya kekuatan super untuk berbicara dengan ikan? Saya bukan bilang tidak mungkin dibuat. Hanya saja, niscaya jadinya bakalan sinting dan payah. Mau bagaimanapun, film Aquaman tak bakal dapat jadi film superhero yang lurus.

Dan rupanya memang betul begitu. Film solo perdana Aquaman ini memang sinting dan payah. Saya suka.


Kita boleh bilang apa saja soal Batman v Superman atau Justice League, tapi yang jelas, Zack Snyder lah penemu Jason Momoa dan Aquaman versi macho. Meski begitu, yang membuatnya benar-benar bersinar yakni sutradara James Wan. Ia menciptakan Aquaman jadi tampak keren dan asyik. Tak ada lagi yang bakal mengolok-olok kekuatan supernya yang notabene cuma mempunyai kegunaan di bahari tapi ampas di darat. Sekarang, saya mau jadi Aquaman.

Pada dasarnya, keseluruhan film ini yakni soal betapa kerennya Aquaman dan tokoh-tokoh di sekitarnya dikala melaksanakan hal-hal konyol atau melontarkan obrolan cheesy. Disini ada tentara yang mengendarai hiu berzirah dan kuda bahari raksasa. Ada pertempuran besar yang melibatkan insan kepiting. Ada Amber Heard yang menggunakan kebaya dari ubur-ubur. Kalau itu tak memancing anda segera memesan tiket, saya tak tahu lagi apa yang dapat menciptakan hati anda tergerak untuk ke bioskop.

Sebetulnya, saya juga tak tahu harus bagaimana dikala menyaksikan itu semua. Entah harus terngaga kagum atau malah menertawakannya. Tapi saya berani mengkonfirmasi bahwa Aquaman yakni salah satu film superhero paling imajinatif secara visual. Desain set-nya sangat spektakuler, menyilaukan mata, dan penuh dengan detail. Semestanya sangat ganjil, dan ia tak ragu-ragu untuk menenggelamkan kita sepenuhnya. Skalanya begitu besar hingga pertarungan apokaliptikal Justice League jadi tampak ibarat remahan astor.

Film dibuka dengan asal mula Aquaman. Terlahir dengan nama Arthur Curry, ia yakni buah hati dari seorang penjaga mercusuar (Temuera Morrison) dengan ratu Atlantis, Atlanna (Nicole Kidman) yang terdampar di pantai. Arthur tumbuh dengan kekuatan seorang Atlantis, tapi membenci kaumnya alasannya merenggut sang ibu dikala ia masih kecil. Dengan kekuatan itu, ia (Jason Momoa) melaksanakan beberapa tindakan heroik walau menolak disebut pahlawan.

Sampai kemudian datanglah putri bawah laut, Mera (Amber Heard) yang membawa kabar bahwa dunia sedang dalam bahaya. Arthur ternyata punya adik tiri di bawah laut. Namanya Orm (Patrick Wilson) dan ia berencana menyatukan tujuh lautan untuk menyerbu daratan demi mendapat gelar "Penguasa Lautan".

Ceritanya sederhana tapi bukan berarti tak ribet. Film ini berdurasi hampir dua setengah jam, tapi masih tetap terasa kepenuhan. Ada terlalu banyak hal yang dimasukkan ke dalam film. Nanti, Arthur dan Mera bertualang untuk mencari trisula legendaris dan peradaban yang hilang. Ada konflik antarsuku bawah laut. Ada pula subplot mengenai asal mula musuh turun-temurun Aquaman, Black Manta (Yahya Abdul-Mateen II) yang sangat saya suka bobot dramanya, tapi terasa tak begitu relevan dengan cerita. Dan kemudian sampailah kita pada pertempuran titik puncak yang melibatkan ribuan tentara kreasi CGI, satu monster raksasa, dan banyak ledakan. Sebagaimana yang kita pelajari dari film-film DCEU sebelumnya, niscaya direktur Warner Bros menyeringai puas melihat ini.

Tak ada satupun adegan yang berlangsung terlalu lama, which is kenapa film ini jarang sekali terasa membosankan. Semua bergerak dengan hiperaktif, tak memberi jeda atau nuance yang berarti. James Wan yang berangkat dari maestro horor, sudah pernah mengkhatamkan sajian kekonyolan berbujet mahal lewat Furious 7. Dengan format film superhero, Wan dapat lebih bersenang-senang. Adegan aksinya dinamis dan eksplosif. Ia banyak bermain degan trik kamera untuk menyajikan sekuens agresi dengan pemanfaatan angle yang sangat-sangat mantap.

Tentu saja film ini sangat CGI-overload. Bagaimana lagi coba menciptakan pertarungan bawah air dimana jagoan kita dapat bergerak bebas ke segala arah. Saya menikmati serbuan visual dan dampak spesialnya yang menusuk mata. Film ini tak ditakdirkan untuk realistis. Wan tahu ini dan menentukan untuk bersenang-senang dengan hal tersebut. Wan terasa ibarat mencoba semua yang dapat ia pikirkan, tak peduli entah itu terlihat menggelikan atau tidak. Menonton Aquaman, saya yakin bahwa film ini yakni sebuah pencapaian.

Pencapaian apa itu, saya juga tidak tahu pasti. Yang saya tahu, filmnya epik. Weirdly epic. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Aquaman

143 menit
Remaja
James Wan
David Leslie Johnson-McGoldrick, Will Beall (screenplay), Geoff Johns, James Wan, Will Beall(cerita)
Peter Safran, Rob Cowan
Don Burgess
Rupert Gregson-Williams

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Aquaman' (2018)"

Post a Comment