'Overlord' barangkali bakal lebih greget kalau punya kekerabatan dengan 'Cloverfield'.
“A thousand-year Reich demands thousand-years soldiers.”Rating UP:
— Franz
Apa yang saya dengar soal Overlord dan apa yang saya lihat ketika menonton Overlord rupanya yaitu dua hal yang berbeda. Sebelum masuk bioskop, saya pikir film ini yaitu film aksi-horor receh soal bantai-membantai zombie Nazi. Namun awal film mengindikasikan bahwa ini yaitu film thriller-perang yang serius. Dua hal tersebut sama-sama saya suka. Menggabungkan keduanya terdengar menyerupai konsep yang maknyus. Saat film dimulai, saya disajikan dengan kemasan visual yang tampak ciamik hingga saya hingga berpikir film ini tak butuh plot.
Sungguh saya sotoy sekali, film ini rupanya menggunakan plot... dan plotnya tidak mengecewakan boring.
Sebagai film kelas B, Overlord punya penampakan yang lebih manis daripada yang kita kira. Adegan pembukanya luar biasa efektif. Saya sanggup bilang bahwa ini merupakan adegan pembuka paling spektakuler yang pernah saya lihat untuk ukuran film-film di kelasnya. Adegan ini menunjukkan pesawat pengangkut tentara yang diberondong senjata api, tepat sebelum para tentara tersebut terjun payung. Kita tak melihat pribadi aksi musuh, tapi kita menyaksikan kilatan peluru yang menembus tubuh pesawat dan kemudian, tubuh beberapa tentara. Kamera fokus pada kepanikan para tentara. Mungkin ini dimaksudkan untuk menghemat bujet, alih-alih menampilkan medan perang sungguhan yang niscaya butuh banyak imbas spesial. Namun ini juga mengeskalasi ketegangan dan urgensi adegan.
Lagi-lagi terbukti bahwa J.J. Abrams sanggup menciptakan apapun yang diproduserinya tampak lebih mahal daripada aslinya. Fokus lalu beralih kepada satu tentara, yaitu prajurit Boyce (Jovan Adepo). Ia terjun payung dengan gelagapan untuk lalu mendarat tak tepat di air. Ia masih hidup, tapi kini berada di hutan yang lebat. Mayat-mayat tergantung di pohon, sementara bunyi peluru terdengar samar di kejauhan. Suasana hutan yang mencekam tampak sangat realistis. Sinematografi dan desain bunyi benar-benar berjalan maksimal untuk menangkap ketegangan tentara yang terjebak di teritori musuh yang misterius.
Waktu itu yaitu D-Day dalam Perang Dunia II, detik-detik bersejarah tepat ketika tentara Sekutu akan memukul balik tentara Jerman dari pantai Normandy Prancis. Misi ini sendiri, kata Google, berjulukan "Operation Overlord". Tim Boyce yaitu tim pembuka yang ditugaskan untuk menghancurkan menara pengacau sinyal di sebuah gereja di erat pantai. Tanpa menara tersebut, pesawat Sekutu sanggup dengan kondusif mengatakan sumbangan udara untuk para infantri yang nanti menyerbu dari darat dan laut.
Kita semua sudah tahu bagaimana misi ini akan berakhir (makasih atas spoiler-nya Buku Sejarah SD). Namun film Overlord menawarkan kisah alternatif—eh, atau jangan-jangan memang aslinya begini? Tim Boyce yang kini cuma tinggal 3 orang lalu diambil-alih oleh satu-satunya staf yang tersisa, Kopral Ford (Wyatt Russell). Musuh ada puluhan, tapi mereka tak punya pilihan selain menunaikan misi. Meski begitu, mereka yakin ini bukan misi yang mustahil... yah setidaknya hingga mereka menemukan bahwa apa yang dilakukan para Nazi di dalam gereja tersebut jauh lebih keji daripada bayangan mereka.
Semua ini sangat atmosferik, sehingga saya hingga yakin untuk menyiapkan rating minimal 3,5. Bagaimana kamera bergerak, pilihan sorotan gambar, dan iringan musik latar yang mendebarkan, membuatnya punya kadar suspense yang tinggi. Saya percaya film ini akan membawa saya ke kawasan misterius yang tak saya duga. Namun, ketika lalu tentara kita berjumpa dan lalu bersembunyi di rumah seorang penduduk lokal berjulukan Chloe (Mathilde Ollivier), film ini karam ke dalam klise yang membosankan. Saya takkan mengungkapnya kepada anda. Anda niscaya sudah tahu; selain alasannya predictable ("Bibi saya sakit keras," ujar Chloe), juga alasannya apa yang mereka lakukan tersebut merupakan rumor eksperimen Nazi paling tenar sepanjang masa.
Yang jelas, apa yang saya dapatkan tak segila yang saya kira. Film ini berada di posisi yang canggung. Di satu titik, ia menyerupai ingin jadi film serius yang menekel gosip perang menyerupai standar moral dan casualties of war. Tapi wangsit ini berakhir separuh matang. Konflik moral antara Boyce dan ... bukannya menambah dimensi, justru menciptakan mereka jadi kelihatan dungu ditinjau dari budi cerita. Karakter menciptakan pilihan narasi atau muncul di suatu tempat, murni alasannya skrip butuh itu meskipun ramashook secara naratif. Belum lagi perhiasan villain komikal dalam wujud Pilou Asbaek. Di lain sisi, Overlord juga terkesan nanggung untuk menyajikan kegilaan horor yang total. Tentu, ada sedikit gambar-gambar mengerikan yang disajikan dengan efektif oleh sutradara Julius Avery, hingga beberapa diantaranya harus disensor oleh bioskop kita. Namun, setiapkali bergerak mendekati kegilaan horor yang paripurna, Overlord malah menentukan untuk menyajikan yang boring.
Ada film yang bertujuan untuk mengejutkan kita, dan ada pula film yang bertujuan untuk membawa kita ke jalan yang familiar lewat cara yang seru atau menghibur. Melihat konsepnya, Overlord agaknya lebih cocok masuk di kategori pertama. Jauh sebelum dirilis, rumor menyebutkan bahwa film ini merupakan proyek diam-diam dari franchise Cloverfield. Setelah menontonnya, saya sanggup memastikan bahwa film ini tak ada hubungannya dengan Cloverfield. Koneksi gampangan ke film lain bukanlah favorit saya, jadi saya tak percaya saya hingga sanggup bilang ini: Overlord barangkali bakal lebih greget kalau punya kekerabatan dengan Cloverfield. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Overlord' (2018)"
Post a Comment