Review Film: 'Bleach' (2018)

Live-action 'Bleach' ialah teladan teranyar ketika manga/anime shonen ditangani dengan benar.

“Is there anyone sane around here?”
— Ichigo Kurosaki
Rating UP:
Live-action Bleach ialah teladan teranyar ketika manga/anime shonen ditangani dengan benar. Resepnya? Film ini memilah bahan mana dari manga/anime-nya yang bisa dipakai untuk live-action, serta meninggalkan yang tak bakal bekerja tapi tetap dengan mempertahankan esensi manga/anime-nya. Dengan begitu, ia bisa memuaskan penggemar lama, sekaligus tak menciptakan penonton kasual merasa terasing ketika menyaksikan hal-hal abstrak khas manga/anime yang terjadi di layar.


Mendengar pembiasaan shonen yang ditangani dengan benar, sebagian anda mungkin pribadi menyodorkan live-action Rurouni Kenshin alias Samurai X. Iya, film tersebut (terutama yang pertama) masihlah merupakan pembiasaan shonen terbaik sejauh ini. Namun ia unggul lantaran handicap; elemen Rurouni Kenshin lebih akrab dengan dunia nyata, sementara Bleach sangat fantasi. Ia membahas mengenai monster berjulukan Hollow, pasukan pembasmi Hollow berjuluk Shinigami, semesta fiktif berjulukan Soul Society, dan pedang super berjulukan Zanpakuto. Yaah, hal-hal WTF standar manga/anime laah.

Makara merupakan sebuah pencapaian ketika sutradara Shinsuke Sato bisa menciptakan semua elemen tersebut bekerja. Sato tahu apa yang sedang ia lakukan, barangkali berkat pengalamannya yang sebelum ini sudah 4 kali mengangkat manga ke live-action, mulai dari The Princess Blade, I am Hero, hingga yang paling nyeleneh, Gantz dan Inuyashiki. Sebagai orang kurang pergaulan yang membaca semua manga Bleach, saya bisa mengkonfirmasi bahwa tak ada elemen khas Bleach yang ditinggalkan di film live-action ini.

Adegan aksinya relatif setia dengan versi manga/anime. Yap, bahkan sabetan pedang yang gesit dan gerakan badan yang cepat sebagaimana lazimnya efek Istimewa di manga/anime shonen terlihat cukup meyakinkan. Shinsuke Sato dengan bijak memakai permainan kamera dan pemilihan angle untuk menutupi efek komputer yang memang belum semewah Hollywood, tapi tetap sukses menghadirkan intensitas pertarungan ala anime.

Secara teori, memang intinya manga/anime itu terbilang hampir tidak mungkin untuk diadaptasi, khususnya lantaran fitrahnya yang episodik. Anda tahu, manga Bleach berjumlah 74 volume, sedangkan animenya mencapai 366 episode. Gimana bisa muat tuh semua dalam satu film? Untungnya film ini tak berusaha memasukkan sebanyak mungkin elemen, alih-alih justru menyederhanakan kisah dengan menentukan satu tema utama. Ia berfokus pada perjalanan dari abjad utama kita, Ichigo Kurosaki (Sota Fukushi) untuk menjadi seorang Shinigami. Bagi yang belum tahu Shinigami, please bear with me here. Ini mau saya jelasin.

Ichigo ialah seorang anak Sekolah Menengan Atas cecunguk biasa yang menjalani hidup yang relatif biasa saja bersama ayah dan dua adiknya. Namun ia punya kelebihan, yaitu bisa melihat arwah. Kelebihan ini naasnya malah berujung pada maut sang ibu ketika Ichigo masih kecil dulu, sesuatu yang masih menjadi penyesalan bagi Ichigo hingga ketika ini. Suatu hari, Ichigo tiba-tiba melihat seorang samurai berbaju hitam yang sedang bertarung melawan monster raksasa. Samurai tersebut ialah Shinigami berjulukan Rukia Kuchiki (Hana Sugisaki), sedangkan si monster disebut dengan Hollow. Tugas Shinigami ialah membimbing Hollow yang bersama-sama ialah arwah insan yang masih mendendam biar menyeberang ke dunia arwah dan tak mengganggu dunia insan lagi. Caranya, yaa tentu saja memutilasi mereka dengan pedang dong biar seru.

Namun satu dan lain hal menciptakan Rukia kehilangan kekuatannya di tengah pertempuran. Satu-satunya solusi ialah dengan mentransfer kekuatannya kepada Ichigo. Ichigo awalnya ragu, tapi toh mau juga ntar, dan kini ia jadi punya pedang raksasa. Masalahnya, Rukia kini bukan lagi seorang Shinigami sehingga tak bisa kembali ke kampungnya di Soul Society. Jadi, Rukia menentukan untuk tinggal di dunia insan demi melatih Ichigo menjadi Shinigami sungguhan.

Mitologi Bleach menjadi kian kompleks, lantaran nanti bakal ada beberapa Shinigami lain yang tiba untuk menjemput Rukia, serta kehadiran klan tentangan Shinigami yang berjuluk Quincy. Namun penonton kasual agaknya tak perlu khawatir, lantaran prosedur semesta Bleach dijelaskan dengan praktis disini. Biasanya, ada sensasi ganjil yang kerap kita dapatkan ketika menonton pembiasaan live-action dari sebuah anime, yaitu sensasi keterasingan konsep dari dunia nyata; mari kita sebut "anime-jetlag". Namun, film Bleach sedikit meredam "anime-jetlag" ini bagi penonton; tak ada dagelan fisik khas anime, tak ada teriakan power-up lebay khas anime, bahkan karakterisasinya dibentuk lebih akrab dengan dunia positif (rambut Ichigo tak se-oranye anime; turut berduka buat Orihime-lovers *uhuk*). Saya cukup yakin ini berkat keterlibatan pribadi sang kreator Bleach, Tite Kubo yang terjun pribadi dalam proses produksi.

Kalau memang begitu, saya harap nanti semua pembiasaan anime/manga mau untuk menggandeng kreator orisinalnya. Mereka tentu lebih tahu aspek mana yang bakal bekerja untuk film mereka, dengan cita-cita penonton akan mendapat pembiasaan yang layak. Bleach menjadi sedikit live-action yang saya nantikan kelanjutannya, meski film ini bersama-sama ditutup dengan baik dan tak berusaha keras mengisyaratkan sekuel. Ia juga menciptakan saya percaya bahwa mengadaptasi shonen fantasi bukannya tidak mungkin dilakukan. Barangkali live-action Naruto bukanlah inspirasi yang buruk.

Mungkin. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Bleach

108 menit
Remaja
Shinsuke Sato
Shinsuke Sato, Daisuke Habara (screenplay), Tite Kubo (manga)
Hitoshi Kobayashi
Yutaka Yamada

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Bleach' (2018)"

Post a Comment