Review Film: 'Dumbo' (2019)

Saya sulit membenci film ini. Dumbo terlalu menggemaskan, sementara filmnya sendiri punya pesan yang terlalu manis untuk dilewatkan anak-anak.

“You can do it, Dumbo; show 'em.”
— Milly Farrier
Rating UP:
Dumbo, si gajah kecil yang bisa terbang, tidak lagi harus menghadapi problematika soal eksistensi diri. Dalam versi 2019 yang berwujud live-action, ia diberikan persoalan baru. Tak ada gajah lain yang bakal mengolok-olok kupingnya yang superlebar. Kelainan fisik bukanlah hal yang membuatnya selalu murung, hingga kemudian ia membuktikan bahwa kuping tersebut ialah berkah yang membuatnya bisa terbang. Alih-alih, kini Dumbo resah alasannya ialah orang-orang jahat sudah memisahkan ia dari ibunya.

Barangkali ini mengambarkan manis buat kemanusiaan secara umum. Tindakan mengolok difabel memang ialah hal bau yang seharusnya sudah usang punah. Namun, itu bukan satu-satunya alasan ketiadaan adegan memilukan tersebut. Mungkin kitanya saja yang tak tahu bila Dumbo masih diolok-olok—lha gimana, di versi live-action ini gak ada binatang yang bisa ngomong. Apalagi nyanyi ibarat versi animasinya yang dirilis di 1941. Faktanya, kita bahkan relatif sedikit sekali menghabiskan waktu bersama mereka. Maka, kita juga tak akan bertemu dengan Timothy, tikus sirkus yang menjadi teman karib Dumbo.

Momen puncak Dumbo versi gres bukan lagi soal bagaimana Dumbo bisa terbang. Ia sudah hebat mengepakkan kuping sedari paruh awal film. Jadi, meskipun kemampuan terbang Dumbo masih spektakuler untuk disaksikan, bab ini tak menjadi poin utama film. Dumbo tetap merupakan sentra dongeng dari film, tapi kali ini ia dikelilingi dengan terlalu banyak huruf dengan latar belakang dan karakterisasi yang sangat klise. Kita hampir bisa menebak bagaimana dongeng akan berjalan ketika seorang huruf muncul pertama kali di layar. Untuk tampil standout, Dumbo gotong royong tak butuh mereka. Dumbo sudah menarik dari sananya.

Karakter insan paling utama mungkin ialah Holt Farrier (Colin Farrell), seorang penunggang kuda di sirkus milik Max Medici (Danny DeVito). Sekembalinya menunaikan kiprah negara di Perang Dunia I, Holt harus kehilangan sebelah tangannya, kudanya, dan istrinya. Dikarenakan kondisi keuangan sirkus Medici yang memprihatinkan, Holt ditugaskan untuk merawat para gajah, diantaranya ada gajah hamil yang berjulukan Jumbo. Yap, dialah si gajah yang kelak melahirkan Dumbo. Gara-gara kelainan fisiknya, hanya bawah umur Holt, Milly dan Joe (Nico Parker dan Finley Hobbins) yang mau mengasuhnya.

Ketika melihat Dumbo, saya serasa melihat gajah beneran. Oke, tentu saja tak ada gajah dengan ukuran kuping dan mata sebesar itu. Namun, sihir CGI membuatnya jadi nyata. Saat ia bergerak atau berinteraksi dengan manusia, ia punya sensasi bobot dan ruang yang meyakinkan. Ngomong-ngomong soal mata, anda tentu tahu fungsi mata belo dari suatu huruf dalam film kan? Betuuul, untuk memancing simpati dan menguras keringat di mata kita.

Tak perlu waktu usang bagi mereka untuk menemukan bahwa ketika Dumbo bersin gara-gara sebuah bulu, ia ternyata bisa terbang. Kemampuan ini menjadi atraksi gres bagi sirkus Medici, yang saking sensasionalnya, beritanya terdengar hingga ke pendengaran pebisnis Vandevere (Michael Keaton). Vandevere menjalin kerjasama dengan Max kemudian memboyong semua anggota sirkusnya—semua demi mendapat Dumbo sebagai salah satu pengisi utama di taman hiburan raksasa miliknya. Apa yang akan terjadi sehabis ini? Jawabannya seambigu soal 2+2.

Film ini digarap oleh Tim Burton, sutradara yang kembali digandeng Disney setelah sukses memulai tren penyesuaian animasi klasik ke live-action mereka lewat Alice in Wonderland. Film tersebut lebih pas bagi gaya Burton yang sangat unik, alasannya ialah bahan aslinya memang relatif gelap dan nyeleneh. Nah, Dumbo adalah buat anak-anak. Kaprikornus tentu saja tak ada daerah buat kenyentrikan Burton, walau kita bisa sedikit mengintipnya lewat beberapa adegan di sirkus dan taman bermain yang punya visual dan tata produksi yang menusuk mata. Ada pula adegan ikonik "gajah pink" dari film orisinalnya yang diubah ulang Burton menjadi sekuens permainan gelembung sabun yang trippy dan mengagumkan walau tak ada hubungan dengan cerita.

Namun persoalan terbesarnya ialah film ini tak punya dongeng yang menarik sedari awal. Sisi dongeng gres yang diangkat oleh penulis skrip Ehren Kruger sangat monoton. Ia tak menyorot banyak soal para hewan, sementara karakterisasi manusianya sangat tipis. Dan kita mendapat banyak manusia. Ada Eva Green sebagai trapeze artist yang somehow nanti tidak mengecewakan akrab dengan Dumbo. Lalu ada Alan Arkin yang tampil kocak sebagai bankir yang barangkali lupa skrip kemudian dibiarkan menciptakan obrolan sendiri. Dan rombongan sirkus Medici yang sangat unik yang tak mendapat porsi apa-apa, setidaknya hingga momen puncak dimana mereka harus membantu Dumbo. Hanya ada sedikit urgensi dari sisi drama, sehingga tohokan emosional di beberapa momen yang dimaksudkan dramatis terasa biasa saja. Burton, dengan kompetensinya, bisa menciptakan adegan apa pun jadi terlihat mewah, tapi filmnya masih dalam pencarian akan dongeng yang mengikat.

Kalau melihat nama Tim Burton duduk di dingklik sutradara sebuah film, kita tentu berekspektasi akan mendapat sebuah film dengan gaya yang khas, "sangat Burton". Dalam Dumbo, kita hanya dikasih lihat sedikit saja soal itu. Boleh dibilang, film ini terlalu biasa dan kondusif untuk ukuran Burton—barangkali memang begitulah memo yang diberikan Disney buat Burton. Namun, saya sulit membenci film ini. Dumbo terlalu menggemaskan, sementara filmnya sendiri punya pesan yang terlalu manis untuk dilewatkan anak-anak. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dumbo

112 menit
Semua Umur - BO
Tim Burton
Ehren Kruger (screenplay), Helen Aberson, Harold Pearl (buku)
Justin Springer, Ehren Kruger, Katterli Frauenfelder, Derek Frey
Ben Davis
Danny Elfman

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Dumbo' (2019)"

Post a Comment