Review Film: 'How To Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

'How to Train Your Dragon 3' punya kisah usang untuk disimpulkan walau tak punya kisah gres untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun berguru cara melatih naga, pendekar kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout alasannya ialah sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Kaprikornus kini sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, bahagia menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai epilog yang hakiki. Film ini memperlihatkan kita momen dramatis, yang memang tak dapat dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi tanggapan memuaskan soal kenapa insan tak lagi menjumpai naga ketika ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid niscaya juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya dapat memerintah naga mana pun. Satu hal yang menciptakan How to Train Your Dragon menarik dicermati ialah alasannya ialah filmnya bertumbuh bersama karakter. Para pendekar kita bertambah dewasa, demikian pula dengan duduk masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil menciptakan sukunya hidup serasi dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi bahaya dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang dapat lebih besar.

Itulah kenapa bahaya gres dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang dapat menyemburkan asam korosif dari verbal mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang menyerupai aku," ujar Grimmel kepada Hiccup ketika ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka ialah nirwana dunia bagi para naga, daerah misterius yang berjulukan "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah dapat melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar nirwana visual; daerah yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo semenjak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memperlihatkan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya duduk masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran alasannya ialah gres berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, hingga Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini menciptakan Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini bekerjsama ialah huruf yang tidak mengecewakan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk huruf yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa menyerupai huruf pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot supaya Hiccup dapat meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memperlihatkan pernyataan realistis perihal bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan gres dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma alasannya ialah alasan itu saja; ia punya kisah usang untuk disimpulkan walau tak punya kisah gres untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'How To Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)"

Post a Comment