Review Film: 'Roma' (2018)

Film ini lebih gampang saya apresiasi daripada saya cintai.

“I like being dead.”
— Cleo
Rating UP:
Menonton Roma, saya jadi murung hingga rasanya ingin menangis. Film ini termasuk ke dalam jenis film yang menciptakan saya kasihan dengan diri sendiri. Film yang menciptakan saya resah gulana. Film yang menciptakan saya merenung dalam. Film yang menciptakan saya berkontemplasi, bertafakur mengenai makna kehidupan dan hakikat eksistensi insan di muka bumi. Pertanyaan ihwal nasib dan takdir berseliweran di benak saya. Kenapa semua menyerupai ini? Kenapa tidak menyerupai itu? Apa memang begini takdir saya? Kenapa saya dilahirkan ke dunia? Apa salah ibu dan bapak saya? Rasanya saya ingin lari ke pantai, dan sembari menghadang deburan ombak, saya ingin berteriak:

"Bangcaaaaddd!!! Kok gue gak konek sama film iniiiii??!!!"

Zraaaaash!


Ini ia film yang mendapat kebanggaan universal di kalangan pegiat film. Ratingnya nyaris sempurna. Di MetaCritic, skor tamat dari hasil rata-rata rating yang diberikan kritikus yaitu "96%". Angka yang sama juga berlaku pada konsensus RottenTomatoes, meski mereka menggunakan sistem scoring yang berbeda. Dari semua review, hanya satu saja Top Critics yang memperlihatkan Tomat Busuk. Rating tamat penonton di IMDb yaitu "8,2", menempatkannya sebagai film terbaik ke-207 sepanjang masa. Sementara disini, saya malah menyadari hal yang lain. Mungkin sudah nasib saya jadi reviewer receh seumur hidup. Mungkin saya memang cuma pantas jadi sisa opak di kaleng Khong Guan-nya dunia pereviewan film. Barangkali saya sebaiknya memang kembali beternak ayam saja di kampung.

Zraaaaash!

Roma yaitu film terbaru dari Alfonso Cuaron, sineas jago yang merupakan sutradara Meksiko pertama yang pernah mendapat Oscar. Ia menyebut film ini sebagai filmnya yang "paling personal" sejauh ini. Mungkin personal buat Cuaron, tapi yang jelas, tak begitu buat saya. Kepiawaiannya menyutradarai terpampang dengan begitu terang di layar, kita eksklusif tahu bahwa film ini niscaya dibentuk oleh orang yang sudah berbakat dari lahir atau barangkali sudah punya banyak pengalaman. Namun, saya tak mencicipi dampak film ini sebagaimana yang (saya pikir) ia maksudkan.

Film ini merupakan film semiautobiografis dari Cuaron mengenai masa kecilnya pada tahun 70an di sebuah kota berjulukan Roma di Meksiko. Alih-alih berfokus pada kehidupan masa kecilnya, Cuaron menentukan untuk menceritakan sisi yang belum diceritakan, mengenai orang penting yang kerap dilupakan. Ia memberi tribut kepada orang yang hampir seumur hidup tak bernama, tapi telah sangat berjasa membesarkannya.

Menarik juga menyaksikan film yang menempatkan elemen yang lebih riuh, dan biasanya lebih sinematis, di latar belakang, sementara elemen yang tidak dramatis menjadi bab utama. Sedari awal Cuaron sudah mengisyaratkan ini lewat adegan pembuka yang mudah tapi punya impresi kuat. Kita melihat pesawat yang terbang di langit lewat pantulan genangan air di lantai. Lantai tersebut tergenang air alasannya yaitu sedang dipel.

Yang mengepelnya yaitu Cleo (Yalitza Aparicio), satu dari dua pembantu yang bekerja bagi sebuah keluarga kelas menengah yang terdiri dari ibu Sofia (Arina de Tavira), bapak (Fernando Grediaga), dan empat anak yang masih kecil-kecil. Bersama temannya, Adela (Nancy Garcia), Cleo dengan rajin dan tanpa lelah mengurus rumah tangga, mulai dari mencuci, memasak, merawat anak-anak, hingga membersihkan lantai dari kotoran anjing yang menyerupai tak pernah habis-habis.

Mereka yaitu pembantu yang ideal; patuh dan sangat menyayangi keluarga majikan. Dan untungnya, mereka juga mendapat majikan yang tidak mengecewakan pengertian. Bukan berarti keluarga ini juga ideal. Si ibu kayaknya selalu sibuk dan lalai mengurus anak, barangkali alasannya yaitu sedang resah gulana mikirin suami yang punga seribu satu alasan biar sanggup lama-lama tak pulang ke rumah.

Drama tersebut berada di latar belakang, sebagaimana banyak drama besar yang bakal terjadi nanti. Kita cuma diajak untuk mengamati kehidupan Cleo. Yah, sebenarnya Cleo juga punya drama sendiri sih. Lewat Adela, ia berkenalan dengan seorang cowok berjulukan Fermin (Jorge Antonio Guerrero). Sebagaimana diperagakannya sebelum bercinta, Fermin mahir beladiri. Fermin juga mahir melarikan diri ketika Cleo memberitahu bahwa ia hamil.

Semua ini dituturkan tanpa melodrama menye-menye. Anda boleh jadi merasa tak banyak hal yang terjadi selama film berlangsung, alasannya yaitu Cuaron benar-benar back to basic. Untuk film ini, ia tak menggunakan score, alih-alih sound design yang tajam. Ia lebih menentukan untuk menggunakan nama-nama yang relatif tak dikenal sebagai pemain. Kecuali pemeran si ibu, semua aktornya tak pernah bermain di layar beling sebelumnya.

Gambarnya, yang disorot sendiri oleh Cuaron, menggunakan format hitam-putih. Kualitas sinematografinya mantap. Ada beberapa adegan hitam-putih yang sangat anggun yang meyakinkan kita berkali-kali bahwa ini yaitu film yang sangat nyeni, yang dibentuk oleh sutradara yang paham betul soal pengambilan gambar. Film ini juga banyak menggunakan sorotan panjang, seringkali secara berkeliling, dengan presisi yang terukur yang menangkap geografi dengan efektif. Menjelang film berakhir, kita merasa kita mengenal betul setiap sudut dari rumah yang diurus Cleo.

Sekilas Roma terkesan tak seheboh film Cuaron yang sudah-sudah. Namun di belakang kisah Cleo, ada latar dengan skala yang epik: kisruh politik, perkara marital, krisis ekonomi, hingga kesenjangan sosial. Semua ini bergerak sengan senyap di belakang Cleo. Kita melihatnya sekilas di layar, kemudian menghilang dalam sekejap, untuk kemudian kita diseret kembali lagi ke kehidupan Cleo. Ada dua adegan paling mengesankan. Yang pertama yaitu adegan dimana ketuban Cleo pecah ketika terjadi kerusuhan di jalanan yang berakhir menjadi apa yang dikenal sebagai Tragedi Berdarah Corpus Cristi. Ada begitu banyak elemen yang bergerak secara bersamaan yang dibangun dengan detail yang luar biasa oleh Cuaron. Meski begitu, ia tak terpengaruhi untuk memamerkannya dengan kentara.

Kemudian, adegan titik puncak dimana Cleo mati-matian melawan ombak demi memperjuangkan sesuatu yang ia sadar sangat ia cintai. Ini merupakan pengejawantahan dramatis dari pengorbanan yang nrimo tanpa balas jasa. Adegan ini sangat nampol, bahkan meski kita tak tahu konteksnya. Begitulah briliannya Cuaron. Namun, di lain sisi ini juga cukup disayangkan. Bagian ini seharusnya nampol bukan alasannya yaitu itu saja, melainkan juga alasannya yaitu imbas dari pembangunan cerita. Ini seharunya merupakan kulminasi dari apa yang tiba sebelumnya. Namun saya tak mendapat gregetnya dari sana.

Alfonso Cuaron sebelumnya pernah menciptakan film kecil yang intim lewat A Little Princess dan Y Tu Mama Tambien. Ia kemudian dengan sukses menaklukkan blockbuster dengan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Children of Men, dan Gravity. Untuk semua itu, ia masih menjadi sutradara yang saya puja. Saya tahu atmosfer dan narasi yang lempeng memang disengaja untuk film ini. Roma digarap dengan sangat terampil, tapi saya kesulitan untuk larut di dalamnya. Saya merasa jauh dengan Cleo. Film ini lebih gampang saya apresiasi daripada saya cintai. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Roma

135 menit
Dewasa
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón, Gabriela Rodriguez, Nicolas Celis
Alfonso Cuarón

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Roma' (2018)"

Post a Comment