Review Film: 'First Man' (2018)

Saya agaknya lebih enjoy mencerna pandangan gres yang ditawarkannya daripada menikmati menonton filmnya sendiri.

“You're a bunch of boys making models out of balsa wood! You don't have anything under control!.”
— Janet Armstrong
Rating UP:
Saat Damien Chazelle bilang bahwa ia akan menciptakan film yang beda dari cerita astronot Neil Armstrong, ia ternyata tidak sedang bercanda. First Man boleh dibilang yaitu film eksplorasi angkasa luar yang paling tidak seru secara visual. Kita sedikit sekali diperlihatkan dengan betapa kerennya kecanggihan teknologi yang bisa melontarkan insan ke antariksa. Bukan alasannya ia tidak berhasil melakukannya, melainkan alasannya ia memang tidak mencoba melakukannya. Di lain sisi, Chazelle berhasil menyajikan sudut pandang gres yang menarik dari sebuah cerita yang sudah sama-sama kita ketahui akhirnya.

Yap, Chazelle sukses menciptakan kita tegang setengah mati padahal kita sudah dispoiler abis-abisan oleh Pelajaran Sejarah.


Kegiatan per-astronot-an barangkali memang lebih sensasional bila dilihat dari perspektif orang luar; roket yang berukuran masif, peluncuran yang spektakuler, kemudian kemegahannya menembus cakrawala punya nuansa luar biasa yang nyaris menyerupai mimpi. Namun duduk di kokpit roket yang bersangkutan, ternyata tak sekeren kelihatannya. Yang bakal kita lihat cuma panel, indikator, valve, knop, dll, serta sedikit celah beling daerah masuk cahaya. Namun bukan berarti bahwa pengalaman yang dirasakan kalah mendebarkan. Justru ini semua terasa lebih edan. First Man memperlihatkan perjalanan ke angkasa luar bukanlah event spektakuler, melainkan sebuah agresi menegangkan yang mempertaruhkan nyawa.

Chazelle menciptakan filmnya semoga terasa lebih kasatmata dengan cara menjejalkan kita ke dalam kokpit yang gelap dan sempit bersama para astronot. Kita dipaksa untuk melihat dan mencicipi apa yang para astronot lihat dan rasakan. Lampu yang berkedip-kedip, gemeretak rangka besi, dan guncangan ahli tubuh roket menciptakan kita nyaris jantungan. Aksi hampir semuanya dibatasi dari dalam kokpit. Kita harus memakai imajinasi, memperhatikan lampu indikator, dan mendengar jalur komunikasi semoga bisa tahu apa yang tolong-menolong tengah terjadi di luar. Sensasi berbahayanya jadi terasa lebih personal.

Belum lagi ditambah fakta bahwa astronot ini tahu nyawa mereka bisa melayang kapan saja. Neil (Ryan Gosling) lebih tahu ini. Momen pendaratan di bulan pada tahun 1969 yang monumental itu diperoleh dari proses panjang yang mengorbankan keringat, darah, dan airmata. Bukan spoiler ketika saya bilang bahwa ujicoba Apollo 1 menewaskan beberapa rekannya, yaitu Ed White (Jason Clarke), Gus Grissom (Shea Whigham), dan Roger B. Chaffee (Corey Michael Smith). Itu yaitu hal yang kerap dilupakan alasannya memang kurang riuh untuk dijadikan memento. First Man menebalkan, melingkari, menggarisbawahi, dan memberinya stabilo.

Neil sendiri sudah berkutat dengan janjkematian semenjak sebelum menjadi astronot. Saat gres mendaftar ke NASA, ia gres kehilangan sang putri gara-gara tumor. Misi pertamanya ke luar angkasa, nyaris mengantarkannya ke rahmatulloh. Lalu datanglah malapetaka yang menimpa Apollo 1 tadi, yang tentu saja menciptakan istri Neil, Janet (Claire Foy) naik pitam. Janet bukan menentang apa yang dilakukan Neil --ia sadar bahwa itu yaitu kiprah negara-- tapi ia tahu bahwa misi ini sangat berbahaya terlepas dari semantap apapun persiapan NASA.

Ini yaitu film studio ketiga dari Chazelle, sehabis menghentak Oscar dengan Whiplash lalu memenangkan piala dua tahun berikutnya dengan La La Land. Film ini, dimana ia bekerja sama dengan penulis pemenang Oscar Josh Singer, memperlihatkan kedisplinannya. Chazelle menentukan satu perspektif narasi dan konsisten memakai perspektif tersebut sampai akhir. Ada beberapa gosip lain yang juga sedap untuk digoreng, menyerupai lomba dulu-duluan dengan Rusia atau penolakan publik dan pemerintah, tapi Chazelle tak tergoda. Bahkan ia agaknya juga tak berniat sama sekali untuk memuaskan penonton yang mengharapkan space spectacle.

Jangan salah, sekuens keberangkatan Apollo 11 dan pendaratannya di bulan sangat sedap dipandang. Pemilihan shot-nya megah dan menciptakan saya ternganga sejenak. Namun poin utamanya tetap perjalanan emosional. Menjelang filmnya rilis secara umum, ada kontoversi yang mempermasalahkan soal absennya momen penancapan bendera Amerika di bulan. Alasannya sesungguhnya, berdasarkan Buzz Aldrin, yaitu alasannya momen ini tidak sedramatis dan sesinematis yang kita kira (anda bisa membaca artikel lengkapnya disini). Alasan Chazelle, saya kira, yaitu alasannya film ini memang bukan soal selebrasi mengenai pencapaian besar tersebut, melainkan kontemplasi mengenai pengorbanan untuk meraih pencapaian besar tersebut.

"Lha, dengan semua kebanggaan di atas, kenapa saya hanya memperlihatkan skor 3,5?" anda mungkin bertanya. Bagi yang sudah familiar dengan saya, tentu tahu bahwa rating yang saya berikan bukanlah skala elok kualitasnya suatu film (yaa gimana, saya masih terlalu ampas buat menilai film), melainkan derajat seberapa menggebu-gebu saya merekomendasikan film tersebut kepada anda. Saya bisa membayangkan ada banyak penonton yang akan kecele menunggu momen puncak ketika Neil berjalan di bulan dan mengucapkan kalimat populer, "Satu langkah kecil manusia, satu lompatan besar bagi kemanusiaan".

Neil Armstrong bukanlah tipikal bintang utama. Yang begitu sebetulnya yaitu Buzz Aldrin (Corey Stoll) yang karismatik dan sangat blak-blakan. Armstrong merupakan laki-laki pendiam yang lebih suka memendam emosi, sebagaimana dimainkan dengan baik oleh Ryan Gosling. Di kehidupan nyata, pasca pulang dari misi Apollo 11, Armstrong menentukan untuk menjauh dari publikasi dengan hidup menyepi. Karakteristik ini membuatnya susah untuk dimengerti. Kita tahu apa yang memotivasi Neil, tapi tohokan emosionalnya terlalu tertahan. Film ini memperlihatkan kita kesempatan untuk mengintip sedikit lebih banyak soal pribadi Neil, tapi pada kesudahannya saya tetap belum mengenal Neil lebih dalam.

Saya mengagumi bagaimana First Man yang menentukan untuk mengambil pendekatan emosional yang intim, fokus pada aspek manusiawi daripada sibuk menyuguhkan hiruk-pikuk luar angkasanya (ada film yang lebih superior dalam hal tersebut, contohnya Apollo 13 dan Gravity). Saya agaknya lebih enjoy mencerna pandangan gres yang ditawarkannya daripada menikmati menonton filmnya sendiri. Iya, saya tahu ini terkesan sangat sinis sekali kalau mempertimbangkan soal bagaimana saya yang sudah mencicipi pribadi besarnya pengorbanan yang harus dilakukan oleh Neil Armstrong dkk lewat film ini. Dan untuk itu, saya merasa sedikit bersalah :( ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

First Man

138 menit
Remaja
Damien Chazelle
Josh Singer (screenplay), James R. Hansen (buku)
Wyck Godfrey, Marty Bowen, Isaac Klausner, Damien Chazelle
Linus Sandgren
Justin Hurwitz

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'First Man' (2018)"

Post a Comment