Film ini mirip pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.
“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”Rating UP:
— Dr. Don Shirley
Apakah menyajikan klise ialah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book tiba menghantam saya. Ini beliau film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa pribadi menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya ialah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan kiprah film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.
Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang lantaran satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, kemudian di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menuntaskan duduk kasus bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.
Iya, ini terdengar mirip plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas kendaraan beroda empat Cadillac, dimana yang satu ialah sopir dan satunya ialah majikan, saya maklum kalau anda pribadi teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini ialah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman kini sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini ialah fenomena gila.
Si sopir ialah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat mirip diambil pribadi dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala cecunguk Itali yang khas. Ia suka omong besar, hingga menerima julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat menyayangi istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menuntaskan duduk kasus dengan tinju. Kerjaannya ialah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.
Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony menerima proposal untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka berjulukan Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don ialah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan hingga membuang gelas yang digunakan minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.
Don ialah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen glamor yang sempurna berada di atas Carnegie Hall. Ia ialah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup beliau makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di tempat Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, alasannya ialah tempat Selatan ketika itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal digunakan Don nanti.
Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa mirip film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya menawarkan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan takaran seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk menciptakan kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan bahan yang penting.
Mengunjungi tempat Selatan ialah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit gelap seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan menggunakan kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan ketika konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan informasi penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.
Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah menawarkan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah menawarkan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel bahan yang inspirasional mirip ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.
Pesona utama film ini ialah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melaksanakan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga menciptakan mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua pemain film utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen memperlihatkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi laki-laki keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya menciptakan karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan menawarkan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah mencicipi mereka sebagai insan sungguhan.
Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, hingga tak begitu kita sadari di titik mana gotong royong mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama mirip bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah bersahabat saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik ialah orang yang baik. Film ini mirip pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Green Book' (2018)"
Post a Comment