Review Film: 'Shazam!' (2019)

Rasanya tak perlu diperdebatkan bahwa film ini yaitu film DCEU yang paling jelas sejauh ini.

“Oh hey, wassup? I'm a superhero!”
— Shazam
Rating UP:
Mari kita mulai ulasan ini dengan sebuah pernyataan yang punya kebenaran yang tak terbantahkan:

Film superhero yaitu film buat anak-anak...

...

... atau orang sampaumur berjiwa kanak-kanak...

... termasuk oom-oom menyerupai saya.

...

BOHONG KALAU ANDA BILANG GAK IKUT-IKUTAN!

Film superhero memang didesain sebagai pemenuhan fantasi dari keinginan paripurna anak-anak. Siapa yang tak girang setengah mati dikala punya kekuatan super yang sanggup mengalahkan penjahat super dan menyelamatkan banyak orang? Menjadi superhero yaitu hal paling keren di dunia. Itu yaitu spirit dari buku komik dan film superhero. Namun tak semua superhero merengkuh hal tersebut. Seringkali mereka terlalu serius. Tak demikian halnya dengan Shazam. Lha gimana, superheronya sendiri yaitu belum dewasa beneran.


Film Shazam! (jangan lupa tanda serunya) intinya punya dua cerita. Pertama yaitu soal belum dewasa yang bersenang-senang dikala tahu bahwa ia yaitu superhero. Kedua, soal ia yang harus melaksanakan acara superhero. Yang pertama lebih asyik secara signifikan daripada yang terakhir. Penyebabnya barangkali sebab saya jarang sekali melihat potongan ini. Berbeda dengan potongan kedua yang sudah terlalu sering kita saksikan dalam ratusan ribu film superhero sebelumnya.

Atau mungkin sebab potongan pertama punya jokes yang segar? Shazam! bukanlah film superhero yang pertama kali mengolok genrenya. Meski begitu, berbeda dengan Deadpool, leluconnya terasa tulus. Ia bercanda bukan sebab ingin mengolok, melainkan sebab ia sungguh merasa girang menjadi superhero. Saat pertama kali ditahbiskan sebagai superhero, apa hal pertama yang harus dilakukan? Yaa, mengetes kekuatan super dong. Ngeluarin listrik? Tubuh antipeluru? Kecepatan super? Bisa terbang? Bisa menghilang? Salah satu dagelan berulang dalam film ini yaitu soal mencari nama superhero yang keci, tapi kebanyakan yang kepikiran yaitu yang norak.

Anak yang dianugerahi kekuatan superhero tersebut yaitu Billy Batson (Asher Angel). Sebagai anak yatim-piatu, Billy sebelumnya suka kabur dari panti asuhan demi mencari keberadaan orangtua aslinya. Sampai kemudian ia diadopsi oleh sebuah keluarga hangat yang punya 5 anak adopsi lain. Salah satu di antara mereka yaitu Freddie (Jack Dylan Grazer), si tukang nyeletuk yang punya kekurangan fisik sehingga harus berjalan dengan pertolongan tongkat. Saat kabur dari preman yang nge-bully Freddie, Billy tiba-tiba bertemu dengan penyihir berjulukan Shazam (Djimon Honsou). Sekarang, dikala berteriak "Shazam!", Billy akan disambar petir kemudian berubah wujud menjadi superhero sampaumur (Zachary Levi) yang punya 6 kekuatan dewa, yaitu kecerdikan (S)olomon, ketangguhan (H)ercules, stamina (A)tlas, keperkasaan (Z)eus, keberanian (A)chilles, dan kecepatan (M)ercury. Disingkat SHAZAM.

(Pengetahuan saya soal hal trivia buku komik yang sangat spesifik ini sukses menjaga keperjakaan saya selama Sekolah Menengan Atas dan kuliah).

Penampakan fisik Shazam sanggup disebut sebagai karakteristik standar superhero dasar. Ia punya kostum mentereng berwarna merah dengan lambang petir kuning besar yang bersinar di dada. Ia punya jubah kayak selendang ibu-ibu arisan. Ia punya badan berotot super yang lebih terlihat menyerupai diisi balon daripada otot beneran. Singkat kata, ia terlihat norak. Dan itulah poinnya. Shazam dimaksudkan sebagai manifestasi dari template superhero, pengejawantahan dari figur ideal superhero di mata anak-anak. Zachary Levi berhasil sekali mengeluarkan semangat dan pembawaan kanak-kanak dalam badan dewasanya yang sangat macho itu.

Ngomong-ngomong, Shazam si Penyihir menghilang sehabis mewariskannya kekuatan. Makara Billy harus mencari tahu sendiri bagaimana cara menjadi superhero. Untung ada Freddie yang yaitu seorang maniak superhero. Berdua, mereka mencari tahu kekuatan Shazam dan bagaimana cara mengontrolnya. Tapi yang lebih penting yaitu mengaplod videonya di Youtube dan memanfaatkan badan sampaumur si Billy untuk membeli bir atau mangkir sekolah. Dan markas. Setiap superhero harus punya markas. Diutamakan kastil di pinggir jurang atau bersahabat air terjun. Melihat mereka bersukacita dengan identitas gres ini yaitu keseruan utama dari film.

Namun kegembiraan tak berlangsung lama. Sebab, ada ancaman dari penjahat berjulukan Dr Zivana (Mark Strong). Zivana punya daddy issues yang kronis, tapi persoalan terbesarnya berasal dari kegagalannya direkrut oleh Shazam si Penyihir dikala kecil dulu. Dendamnya berbahaya, sebab ia kini punya kekuatan untuk memanggil 7 monster berjuluk "Seven Deadly Sins". Para monster ini sangat jelek rupa tapi juga sangat yummy dilihat. Mereka punya badan yang beragam. Ada yang punya tangan empat, ada yang bersayap kelelawar, dan ada yang punya lisan vertikal yang sanggup terbuka hingga ke perut. CGI-nya sangat meyakinkan, terutama dikala kemunculan perdana mereka.

Sutradaranya yaitu David F Sandberg yang pernah menggarap Lights Out dan Annabelle: Creation. Berangkat dari sutradara horor, tak mengejutkan dikala kita menemukan beberapa sentuhan yang barangkali terlalu menciptakan stress berat untuk ukuran film menyerupai ini. Pertarungan puncak, yang terjadi di taman hiburan, pastinya harus melibatkan beberapa kehancuran. Namun Sandberg berhasil menjaga biar sekuensnya koheren dan praktis dicerna. Tentu, ada banyak dampak Istimewa yang bekerja disini, tapi penggunaannya terasa sangat efisien sehingga tak terasa menumpulkan mata dan telinga. Yang lebih penting, meski pertarungan titik puncak ini sedikit kepanjangan, ia punya sedikit bobot emosional. Pertarungan titik puncak terjadi dan berakhir bukan hanya sebab (((harus))) begitu, melainkan sebab dibangun dari cerita.

Film ini memberi kesan bahwa menciptakan film DC Extended Universe (DCEU) yang baik itu gampang. Hanya perlu plot yang lumayan, tak buru-buru membangun universe, dan punya huruf sederhana yang menciptakan kita peduli. Atau sanggup jadi Shazam! sendiri terlihat tidak mengecewakan anggun sebab ia tak berusaha terlalu keras. Tak neko-neko. Rasanya tak perlu diperdebatkan bahwa film ini yaitu film DCEU yang paling jelas sejauh ini (jangan sodori saya Aquaman; film tersebut saya beri gelar sebagai yang paling sinting). Meski latar belakang dari karakternya bergotong-royong sangat gelap (tunggu hingga Billy mendapat gosip soal ibunya yang hilang), tapi filmnya bermain sebagai film yang seru, ringan, dan lucu. Kesan yang sama kita dapatkan dikala menonton film kartun di ahad pagi. Ini bukan komplain lho. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Shazam!

132 menit
Remaja - BO
David F. Sandberg
Henry Gayden (screenplay), DC Comics (komik)
Peter Safran
Maxime Alexandre
Benjamin Wallfisch

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Shazam!' (2019)"

Post a Comment