Review Film: 'Crazy Rich Asians' (2018)

Meski filmnya soal orang Asia yang tajir edan, ini tak menciptakan 'Crazy Rich Asians' terkesan sinis. Alih-alih, justru filmnya hangat.

“We're comfortable.”
— Nick Young
Rating UP:
Dalam Kabar Yang Sudah Tak Perlu Dijelaskan Lagi Karena Udah Jelas Banget kali ini, saya ingin memberitahu: Crazy Rich Asians ialah film mengenai orang-orang Asia yang tajir edan. Tapi, tahukah anda seberapa edan? Seedan membeli seluruh aset hotel glamor ketika petugas hotel tersebut mencibir mereka yang ingin memesan kamar termahal disana.

Gimana? Sudah merasa miskin belum?


Yang saya suka dari orang-orang tajir edan disini ialah mereka tidak suka menyombongkan kekayaan mereka. Ingat bagaimana biasanya kita meringis ketika menyaksikan orang yang memamerkan ketajirannya untuk menciptakan orang terkesan atau, lebih parah lagi, untuk menciptakan cewek klepek-klepek? *uhuk, Fifty Shades*. Di Crazy Rich Asians, orang-orang ini tahu mereka kaya dan tak butuh orang lain untuk mengkonfirmasi itu. Orang tajir beneran biasanya tak suka mengaku kalau beliau kaya. Pelajaran buat gadis-gadis: kalau gebetanmu ngaku-ngaku tajir, kemungkinan besar ia tak setajir itu.

Saya tahu lantaran saya suka mengaku tajir.

Beda dengan Nick (Henry Golding). Pacarnya yang seorang dosen ekonomi, Rachel (Constance Wu) bahkan boleh jadi mengira Nick sebagai warga kere lantaran gaya hidupnya yang B aja. Namun kemudian mereka diundang untuk menghadiri ijab kabul teman karib Nick di kampung halamannya, Singapura. Sekalian mau ketemu sama keluarga Nick. Saat bermaksud naik pesawat ekonomi, eh bagasi mereka malah diangkut ke pesawat kelas satu. Inilah ketika Rachel mengetahui bahwa keluarga Nick ternyata sangat kaya, yang kayanya jauh daripada yang bisa ia bayangkan.

Anda punya satu teman yang anda pikir paling kaya? Rachel punya, namanya Peik Lin (Awkwafina). Namun Peik Lin dan keluarganya yang sangat nyentrik bahkan terbengong ketika mengetahui pacar Rachel selama ini ialah Nick yang "itu". Koleksi wardrobe Peik Lin hanyalah sekelas taplak meja bagi keluarga Nick.

Crazy Rich Asians sebetulnya ialah film romantic-comedy (romcom) yang standar, menggunakan variabel-variabel klise dari genrenya yang memang sudah teruji oleh waktu. Setup-nya sangat familiar, yaitu mengenai sepasang kekasih dari latar belakang sosial berbeda yang harus menghadapi tantangan sosial itu biar bisa bersatu. Meski begitu, film ini bisa untuk terasa segar berkat satu kata penting di judulnya. Bukan "Crazy" atau "Rich" — walau memang sangat menghibur melihat kedua hal tersebut disajikan dengan lebay di layar— melainkan "Asians". Dari Wikipedia, saya gres tahu bahwa film ini ialah film besar Hollywood pertama yang secara umum dikuasai digawangi oleh bintang film Asia-Amerika semenjak The Joy Luck Club seperempat masa yang lalu. Tapi bukan itu poinnya, melainkan fakta akan bagaimana film ini menyuntikkan ciri khas kultur, tradisi, hingga trid abjad yang bisa membuatnya terasa unik tapi juga relatable di ketika bersamaan.

Tak percaya? Lihat bagaimana kapabillitas, efektivitas, dan daya jangkau pergosipan emak-emak (yang sudah kita ketahui bersama) ketika kabar mengenai Nick yang akan membawa "bakal calon istri" itu bocor di medsos. Semua sudah menerima gosip tersebut bahkan sebelum Nick dan Rachel kelar makan kue. Sebagaimana yang kita alami sendiri di lingkup sosial kita, semua orang kenal semua orang dan semua orang tampaknya punya hubungan keluarga. Jadi, kita nanti akan berjumpa dengan banyak abjad hingga kita butuh daftar silsilah keluarga Nick biar bisa mengenal semuanya. Mulai dari yang biasa saja hingga yang paling nyentrik. Mulai dari pebisnis yang selalu menjaga gambaran hingga cukup umur hedon dengan selera fashion norak.

Meski Nick dan Rachel belum membicarakannya dengan serius, orang-orang sudah berasumsi bahwa Nick akan mengakibatkan Rachel istri. Tentu saja tak semua menyetujui hal ini. Yang paling getol menentang ialah ibu Nick, Eleanor (Michelle Yeoh) yang menganggap bahwa Rachel tak (((akan pernah))) pantas bagi Nick. Kalau anda kira film ini akan jadi film "Mertua Keji" berikutnya, maka hening saja; aspek dramatis dari film ini tak pernah terlalu dalam. Yeoh dengan elegan memposisikan karakternya bukan sebagai monster melainkan seorang ibu konservatif yang sangat protektif akan masa depan keluarganya.

Namun khawatir lah soal tersebut menjelang final film saja. Sebab di sebagian besar durasi, film ini menyuguhkan apa yang biasanya dilakukan oleh orang tajir, yaitu menghamburkan duit sesensasional mungkin. Kita akan melihat pesta penyambutan super-elit di rumah nenek Nick, kemudian pesta lajang yang digelar buat teman Nick yang akan menciptakan selebgram paling hits sekalipun gigit jari, dan terakhir... pesta ijab kabul megah yang saya takkan pernah sanggup kesempatan untuk menghadirinya seumur hidup. Sutradara Jon M Chu menghadirkan gaya visual yang menciptakan semuanya tampak glamor, elegan, dan yang paling penting, meyakinkan. AES.THE.TIC.

Meski begitu, ini tak menciptakan filmnya terkesan sinis. Justru terasa hangat, lantaran pembuatnya benar-benar memberi perhatian akan aspek romcom-nya. Latar pesta yang flamboyan tadi menjadi perjalanan abjad tersendiri bagi tokoh utama kita, terutama Rachel. Rachel ialah rujukan gadis yang sangat ideal untuk tipikal film menyerupai ini. Ia bukan bocah yang butuh duit biar hidupnya berubah; sebelum ini, ia sudah mandiri, kompeten, dan terhormat. Penampilan Wu yang sangat ringan menciptakan kita begitu gampang untuk terikat pada Rachel. Chemistry antara Rachel dan Nick sangat terasa, sehingga walau kita sudah tahu hasil balasannya bagaimana tapi kita tetap peduli biar hubungan mereka berhasil.

Diadaptasi dari novel laku karya Kevin Kwan yang dirilis di 2013, saya cukup terkesan bagaimana skrip dari Peter Chiarelli & Adele Lim bisa untuk menciptakan filmnya tidak mengecewakan fokus. Mereka bahkan bisa memberi resolusi yang memuaskan, walau gotong royong dongeng ini masih akan berlanjut dengan dua film lagi. Yaah, meski tetap terasa ada sedikit hal yang mengganjal, menyerupai prahara rumah tangga sepupu Nick, Astrid (Gemma Chan) yang entah memang kurang pada tempatnya atau justru kurang dieksplor sehingga tak begitu klik dengan film secara keseluruhan. Kendati demikian, film ini berhasil dengan brilian kalau yang ingin ditujunya memang cuma soal Nick dan Rachel. Anda takkan kecewa; mereka akan menciptakan penonton menyunggingkan senyum sumringah.

Namun pencapaian paling paripurna dari film ini ialah menunjukkan kita jenis komedi tertinggi yang pernah ada, yaitu menertawakan diri sendiri. Menyaksikan orang-orang yang hidupnya bermasalah simply lantaran mereka punya terlalu banyak uang bakal memancing tawa getir ketika kita ingat isi rekening sendiri. Saat kita harus banting tulang kerja keras bagai kuda biar bisa pamer makan sekali seminggu di restoran, orang-orang ini menggunakan #OOTD yang cukup untuk membayar honor kita setahun.

Sungguh bedebah. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Crazy Rich Asians

121 menit
Dewasa
Jon M. Chu
Peter Chiarelli, Adele Lim (screenplay), Kevin Kwan (novel)
Nina Jacobson, Brad Simpson, John Penotti
Vanja Cernjul
Brian Tyler

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Crazy Rich Asians' (2018)"

Post a Comment