Kalau diibaratkan manusia, 'Bad Times at El Royale' ialah teman kita yang suka ngobrol ngalor-ngidul heboh.
“Shit happens, get the whisky.”Rating UP:
— Father Daniel Flynn
Kalau diibaratkan manusia, Bad Times at El Royale ialah teman kita yang suka ngobrol ngalor-ngidul heboh. Semua yang diomonginnya selalu terdengar seru sehingga tak dilema kalaupun ia ngomong berjam-jam. Tapi ketika ia sudah pergi dan kita mencoba mengingat obrolan tadi, kita biasanya akan bertanya-tanya: "Eh barusan ngobrolin apa sih?". Bukan alasannya ialah isinya yang omong kosong, melainkan alasannya ialah obrolannya begitu banyak dan memang tak ada juntrungannya; simpang siur alias tanpa arah. Yang jelas, seru.
Begitulah Bad Times at El Royale. Film ini terasa mirip banyak film dalam satu film. Secara garis besar, ia terkesan sebagai film thriller yang penuh misteri. Kadang-kadang, ia jadi film drama yang mengeksplorasi dosa dan penebusan. Di satu titik, kita disuguhkan dengan adegan menyanyi yang bikin merinding saking bagusnya. Di lain waktu, punya adegan agresi dan kriminal yang brutal. Seolah-olah, banyak sekali elemen yang seru dari banyak sekali film berbeda berkumpul menjadi satu untuk nongkrong dan having a
Film ini ditulis dan digarap oleh Drew Goddard, penulis skrip veteran yang memulai debut penyutradaraanya lewat The Cabin in the Woods pada 2012 lalu. Menonton film tersebut, anda mungkin berharap akan mendapat satu lagi film berkonsep tinggi. Namun bekerjsama konsep Bad Times at El Royale tidaklah sedahsyat itu. Premis di paragraf di atas hanyalah menjadi wadah bagi Goddard untuk memamerkan kepabilitasnya untuk menggarap film yang stylish; tata produksinya menawan, sinematografinya mantap, soundtrack-nya menggigit, dan akting para pemainnya ciamik. Film ini tidak selicik The Cabin in the Woods, tapi ia masih menarik.
Kaprikornus apa itu El Royale? El Royale merupakan sebuah hotel unik yang berada sempurna di perbatasan Nevada dan California. Ciri khasnya ialah struktur bangunan yang terbagi dua: separuhnya didekorasi dengan gaya Nevada, sedangkan separuhnya bergaya California. Pengunjung boleh menentukan untuk menginap di kamar bab mana. Keduanya terpisah oleh lobi yang dibagi oleh garis lurus pembatas antara dua propinsi tersebut. Dulu El Royale ialah hotel yang moncer, selalu ramai pengunjung, bahkan kerap dipesan oleh selebritis. Namun kini ia sudah berada di ambang maut.
Kaprikornus tentu saja pengurus El Royale, Miles Miller (Lewis Pullman), yang ngomong-ngomong merupakan satu-satunya kru hotel ini, terkejut ketika tiba-tiba hotelnya ramai dikunjungi orang di ketika bersamaan. Ada pendeta Flynn (Jeff Bridges) yang sudah pikun, penyanyi latar Darlene Sweet (Cynthia Erivo) yang tengah berusaha memulai debut solo, serta sales vacuum cleaner Sullivan (Jon Hamm) yang parlente dan bermulut licin. Bakal menyusul Dakota Johnson yang menulis "F*** You" ketika diminta mengisi buku tamu hotel. Maklum saja, ia tak ingin identitasnya diketahui, lha wong di bagasi mobilnya ada anak gadis (Cailee Spaeny) yang disandera.
Saya tak sanggup memberitahu anda apa yang bakal terjadi selanjutnya, tapi kondusif jikalau aku bilang bahwa yang terjadi sesuai dengan judulnya: hal yang buruk. Kaprikornus aku hanya akan membeberkan apa yang sudah diperlihatkan oleh trailer. El Royale bukanlah hotel yang aman. Maksud saya, hotel ini punya lorong rahasia dan cermin tembus pandang sehingga orang sanggup mengamati kegiatan di masing-masing kamar. Sullivan juga bakal menemukan lusinan alat penyadap di sudut-sudut kamar. Konflik nantinya juga akan melibatkan bergepok-gepok uang serta roulette game. Sebagaimana yang dibilang Miles, El Royale memang bukan daerah untuk pendeta.
Disini Goddard bermain-main dengan struktur film. Ceritanya terbagi menjadi beberapa chapter yang berfokus pada masing-masing karakter. Entah untuk menceritakan bagaimana huruf kita sanggup berakhir di El Royale, atau untuk memperlihatkan kita mengenai satu kejadian yang sudah kita saksikan sebelumnya tapi kali ini dari perspektif yang berbeda. Saya sanggup membayangkan bagaimana teknik mirip ini akan bekerja lebih mulus sebagai miniseri alih-alih sebuah film.
Penonton yang cerdas mungkin sudah sanggup menduga bahwa tak semua orang sesuai dengan casing-nya. Semuanya terang menyembunyikan sesuatu. Apa saja itu ialah hal yang harus anda temukan sendiri, alasannya ialah dalam film ini identitas huruf ialah inti film. Film ini relatif tak punya cerita; prosedur plot merupakan produk dari identitas masing-masing huruf yang saling bertubrukan. Kelihaian dari Goddard ialah bagaimana ia membocorkan detil gres dari karakternya serta bagaimana mereka saling bekerjasama dengan sangat terkontrol. Meski berdurasi hampir dua setengah jam, Goddard tak pernah terlalu cepat kehabisan amunisi dan kita tak pernah kewalahan dengan setiap ada pengungkapan baru. Oleh alasannya ialah itu, tak begitu terasa janggal ketika menjelang final film kita berjumpa dengan Chris Hemsworth yang bermain sebagai pimpinan agama palsu yang tak pernah ngancingin baju.
Saya takkan menyalahkan Hemsworth. Kalau aku punya perut kayak papan cucian mirip dirinya, aku juga takkan pernah ngancingin baju seumur hidup.
Maaf aku ngelantur. Kita boleh jadi menyebut film ini sebagai alasan Goddard untuk membiarkan para aktornya...uhm, memamerkan akting mereka. Dan semuanya memang keren-keren. Kita sanggup mencicipi kefrustasian Jeff Bridges ketika di satu waktu harus mengingat sesuatu yang sudah ia lupakan—yaa, namanya orang pikun. Dakota Johnson tampil mematikan *uhuk* sebagai perempuan muda yang tangguh. Namun yang paling mempesona ialah Erivo yang akan menciptakan anda merinding dengan bunyi emasnya. Masing-masing mereka dimodali dengan humor sinis dan obrolan tajam.
Saya juga hingga mengira bahwa hotel El Royale merupakan huruf tersendiri. Tapi aku keliru. Lewat review Variety, aku tahu bahwa El Royale terinspirasi dari hotel sungguhan berjulukan Cal Neva yang dimiliki oleh Frank Sinatra di tahun 60an. Goddard memberi kita kesempatan untuk menjelajah sudut hotel hingga kita seolah berada pribadi disana, mengenali setiap sisi. Namun, hotel ini sendiri tak punya signfikansi bagi plot. Memang lokasinya sangat menarik, misteri di belakang layarnya juga sangat menciptakan penasaran. Tapi dongeng dalam Bad Times at El Royale sanggup terjadi dimana saja; yang diperlukan hanyalah orang-orang yang salah bertemu di waktu yang salah.
Dan itu juga yang menciptakan aku agak sedikit kecewa dengan film ini. Goddard menghabiskan waktu yang cukup untuk membangun karakter, kita mau tak mau terbawa dengan hype tersebut. Lalu kenapa ia harus melaksanakan itu? Resolusi filmnya terasa agak meh. Saya tahu meski dengan film se-intricate The Cabin in the Woods, kita memang tak harus selalu mengharapkan plot-twist di film Goddard berikutnya. Namun disini itu terasa lebih cocok. Melihat segala elemen yang ada di Bad Times at El Royale, rasa-rasanya ia pantas untuk mendapat epilog yang layak dengan antisipasi yang dibangunnya.
Eh, antisipasi apa sih yang udah dibangun? Lupa saya. Yang terang filmnya seru. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
0 Response to "Review Film: 'Bad Times At El Royale' (2018)"
Post a Comment