Review Film: 'Burning' (2018)

'Burning' ialah pencapaian andal dalam hal penciptaan suspens.

“Why do we live? What is the significance of living?”
— Shin Hae-mi
Rating UP:
Sepanjang sejarah perfilman thriller, Burning barangkali merupakan salah satu film yang paling tak konklusif dari segi misteri. Namun, secara emosional, ia sangat memuaskan. Film ini dibangun dengan perlahan tapi sangat terukur, mencekat kita lewat cara yang tak terduga sembari memberi cukup ruang supaya bobot emosionalnya terakumulasi dengan begitu hebat. Semua ini kemudian mengantarkan kita ke momen puncak yang saking gregetnya kita merasa sangat butuh sebuah pelepasan. Tidak sanggup tidak. Wajib.

"Ya Tuhan, satu pelepasan saja dan saya akan lega," kita pikir.

Dan BAM! Burning memberikannya dengan cara dan waktu yang tepat.


Saya sanggup menggambarkan Burning dengan deskripsi sederhana: sebuah cinta segitiga yang berujung pada dongeng kriminal. Tapi saya bakal sotoy. Film ini jauh lebih kompleks daripada itu. Lagipula, saya tak tahu apakah deskripsi tersebut memang mewakili atau tidak. Saya sanggup saja menonton film ini lebih dari 10 kali, dan ujung-ujungnya tetap saja tak bakal sepenuhnya yakin dengan apa yang (saya kira) saya lihat. Burning penuh dengan ketidakpastian dan justru itulah yang membuatnya sangat menegangkan.

Kita sebagai penonton, sama menyerupai para abjad di dalam film, tak persis tahu apa yang sebetulnya terjadi dan melihat abjad lain lewat kacamata masing-masing; persepsi yang sebetulnya hanyalah produk ambigu dari pengalaman hidup yang cuma sebentar dengan orang yang dimaksud. Apakah mereka memang betul menyerupai apa yang kita kira?

Mari kita mulai dengan abjad utama kita, Jongsu (Yoo Ah-in), laki-laki kampung yang bercita-cita menjadi penulis walau ketika ini hanya berkutat sebagai kurir di kota Seoul. Jongsu pendiam dan tak begitu ekspresif. Ia hanyalah laki-laki biasa yang sama sekali tak mencolok. Namun seorang SPG seksi yang ditemuinya tak sengaja di jalan bilang bahwa mereka saling kenal. Katanya mereka dulu ialah sahabat sekelas di kampung. Jongsu melongo.

"Aku operasi plastik," celoteh si SPG. Cewek ini namanya Haemi (Jeon Jong-seo), seorang optimis, penuh semangat, dan tampaknya sangat polos. Saat nongkrong, Haemi kemudian bilang kepada Jongsu bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Tak butuh lama, Jongsu diajak main ke apartemen Haemi dan mereka melaksanakan hal yang iya-iya disana.

Jelas sekali jikalau Jongsu pribadi merasa terikat dengan Haemi. Ia bahkan mau saja ketika dimintai tolong untuk memberi makan kucing Haemi selama Haemi pergi ke Afrika dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Setiap hari Jongsu mengunjungi apartemen Haemi, dan setiap hari itu pula ia merancap sambil membayangkan Haemi.

Iya. Merancap. Jongsu memang punya kehidupan yang sedikit, ehm, ganjil. Ia menyerupai selalu sendirian dan tak punya satu pun teman. Kita mendengar bahwa ayahnya sedang dalam masalah, tapi kita tak perlu tahu persisnya apa. Kita tahu bahwa sang ibu sudah meninggalkannya. Kita tahu Jongsu rutin mengunjungi kebun ayahnya di kampung. Film menuturkan detail kehidupan Jongsu dengan perlahan dan telaten, tapi rasa-rasanya citra besarnya masih saja buram.

Namun yang lebih buram ialah Ben (Steven Yeun). Jongsu ketemu Ben ketika menjemput Haemi di bandara sekembalinya dari Afrika. Situasi ini membuat hubungan segitiga yang tak nyaman. Ben ialah sahabat seperjalanan Haemi. Tapi mereka tampaknya sangat akrab. Apakah mereka jadian? Entahlah. Haemi tampaknya menikmati sekali ketika jalan dengan Ben, tapi ia juga berusaha untuk selalu mengajak Jongsu. Ben tampaknya juga tak pernah keberatan.

Jongsu punya firasat jelek soal Ben. Ada sesuatu yang janggal dengan Ben; ia sosialita, punya kendaraan beroda empat Porsche dan apartemen mewah, tapi kelihatannya tak punya pekerjaan. Kepribadiannya mulus tapi nyaris hampa, bahkan mungkin punya talenta psikopat. Ben memberitahu Jongsu dan Haemi bahwa ia tak pernah menangis seumur hidup. Penampilan Steven Yeun luar biasa; ia membuat abjad masbodoh yang penuh misteri.

Film ini memang punya kemasan thriller kriminal. Namun ia lebih terasa menyerupai studi psikologi karakter. Atau barangkali lebih tepat: permainan studi psikologi karakter. Kita melihat sesuatu cukup banyak, tapi kita tetap saja tak tahu banyak. Apa maksud Ben terhadap Jongsu? Atau terhadap Haemi?

Atau soal Haemi sendiri. Apakah ia benar sanggup dipercaya? Apakah Jongsu dulu memang pernah menyelamatkan Haemi ketika terjebak di sumur? Atau itu hanya karangan Haemi belaka? Cerita film ini seolah dongeng antara dua orang laki-laki yang sangat berbeda dengan satu perempuan polos terjebak di tengahnya. Apa benar begitu? Kebenaran hakiki ialah sebuah kemustahilan dalam Burning. Kita diperdaya untuk membuat perkiraan yang belum tentu kebenarannya.

Ketika Haemi tiba-tiba menghilang, Jongsu hampir sepenuhnya yakin bahwa pelakunya ialah Ben, walau tak ada bukti yang jelas. Ini memancing Jongsu untuk membuntuti Ben. Jongsu ingat bahwa Ben pernah bilang bahwa ia suka aben greenhouse; bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk sekadar melihat greenhouse tersebut terbakar. Dan sasaran selanjutnya, kata Ben sembari tersenyum, berada sangat dekat dengan Jongsu. Jongsu sangat percaya dengan ini hingga ia mengecek semua greenhouse di kampungnya. Jongsu tak menemukan apapun. Apakah Ben benar-benar tukang bakar atau cuma sedang mempermainkannya?

Film ini digarap oleh sutradara Lee Chang-dong dari dongeng pendek karya penulis kenamaan Jepang, Haruki Murakami. Plotnya terasa berjalan dengan alami meski latarnya diubah menjadi di Korea. Film Lee dengan luar biasa menangkap nuansa kesendirian dan hasrat terpendam yang kerap ditemui dalam karya Murakami. Poin utamanya ialah apa yang diutarakan Haemi kepada Jongsu sebelum berangkat ke Afrika: "Semua orang lapar akan sesuatu."

Burning ialah pencapaian andal dalam hal penciptaan suspens. Kita sukses dijaga untuk merasa tak nyaman dalam durasinya yang sangat panjang, nyaris 3 jam. Metode narasinya barangkali ialah aplikasi sinematis dari teori Kucing Schrodinger. Teori ini menyebutkan bahwa seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak radioaktif, berada dalam kondisi hidup dan mati secara simultan. Kita belum tahu status kucingnya almarhum atau bukan sebelum kita melihat isi kotak tersebut. Entah sengaja atau tidak, Lee bahkan menyelipkan Kucing Schrodinger ala-ala ke dalam Burning. Jongsu dengan rutin memberi makan kucing Haemi, tapi ia tak pernah melihat wujud kucing tersebut. Meski begitu, makanannya selalu habis.

Saya sengaja bawa-bawa teori fisika kuantum biar dibilang intelek.

Lee tidak membuat Kucing Schrodinger-nya dengan manipulasi palsu. Alih-alih, ia melakukannya dengan menunjukkan latar situasi yang sedemikian kompleks demi membuat tensi. Ada perbedaan strata sosial dan kepribadian yang mencolok antara Jongsu dengan Ben. Apakah Jongsu merasa iri terhadap Ben? Ataukah Jongsu marah sebab Ben tak mengapresiasi Haemi menyerupai ia menyukai Haemi? Saat Haemi bercerita di depan teman-teman Ben, Jongsu melihat sekilas Ben yang menguap bosan. Dan barangkali tak tahu itu semua, Haemi malah dengan nyaman menari bertelanjang dada di depan Ben.

Ada semacam sensasi ancaman yang mengendap-endap di dalam Burning. Dan kita tak tahu niscaya apa itu. Saya lebih suka untuk berpikir bahwa apa yang terjadi tak menyerupai kelihatannya. Karena pilihan tersebut memang lebih nyaman. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal bahwa apa yang terjadi memang menyerupai yang kita kira. Lebih mengerikan untuk dibayangkan, tapi tak apa, sebab Jongsu sudah menerima sebuah pelepasan. Kotak radioaktif kucing Schrodinger diputuskan untuk dimusnahkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Burning

148 menit
Dewasa
Lee Chang-dong
Oh Jung-mi, Lee Chang-dong (screenplay), Haruki Murakami (cerita)
Lee Joon-dong, Lee Chang-dong
Hong Kyung-pyo
Mowg

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Burning' (2018)"

Post a Comment