Review Film: 'The Darkest Minds' (2018)

Film ini hadir terlalu terlambat untuk terasa menarik atau mungkin bahkan untuk dipedulikan.

“We don't have to stay in darkness.”
— Ruby
Rating UP:
Ijinkan saya mikir sebentar. Dimana kira-kira saya melihat film menyerupai ini? Hmm. Hmm. Hmm. Oooh, niscaya dari 132 film penyesuaian novel young-adult (YA) yang pernah saya tonton sebelumnya. Seperti yang anda tahu, penyesuaian YA yakni spesies film yang pernah menjadi primadona 67 tahun yang kemudian namun pribadi punah secepat ia datang; kurang lebih kayak perjalanan karir selebgram dadakan. Maka, hei, apa yang dilakukan The Darkest Minds ini di tahun 2018?


Film ini hadir terlalu terlambat untuk terasa menarik atau mungkin bahkan untuk dipedulikan. Di banyak bagian, ia hanya menyuguhkan resep standar film-film YA: pahlawan yang terlihat biasa saja tapi punya kekuatan luar biasa, remaja-remaja dengan kemampuan spesial, opresi dari otoritas yang berusaha mengontrol masyarakat, pemberontakan pada penguasa lalim, love-interest terhadap abjad (yang tentu saja) paling menawan, pesan moral biar tak takut menjadi diri sendiri, dan blablabla lain yang bisa kita isi sendiri. Kita bahkan bisa menebak plot twist-nya ketika gres mulai mengunyah popcorn.

Kita sudah sering melihat ini sebelumnya, tapi abjad dalam The Darkest Minds terang belum pernah menonton film YA, seiring perilaku mereka yang masih tak tahu apa yang harus dilakukan ketika berjalan dalam klise film YA.

Kendati demikian, latar belakang ceritanya tidak mengecewakan menggigit dan barangkali yang paling suram dari semua film-film YA lain yang pernah ada. Di semesta The Darkest Minds, ada sebuah penyakit misterius yang khusus menyerang bawah umur yang mengakibatkan 90% populasi mereka musnah. Anak-anak yang selamat entah kenapa malah jadi punya kemampuan super. Orang cukup umur jadi ketar-ketir, sehingga pemerintah kemudian mengumpulkan mereka, mengurung mereka di sebuah kamp konsentrasi, atau simply membantai mereka. Baru di permulaan film saja, kita sudah diperlihatkan dengan bawah umur yang diseret dari orangtua masing-masing oleh para tentara.

Njiir, kelam.

Tatanan masyarakat niscaya menjadi kacau balau. Orangtua yang terang sayang sama bawah umur mereka niscaya demo besar-besaran. Namun itu semua takkan kita lihat dalam film ini, sebab itu akan membuatnya jadi film YA yang cerdas. Alih-alih, kita akan mengikuti, siapa lagi jikalau bukan, pahlawan remaja biasa yang ternyata gak biasa-biasa amat, yang melaksanakan apa yang biasa dilakukan pahlawan remaja YA meskipun ia berada di semesta superkelam dimana bawah umur dan remaja dipersekusi, dihajar, dan dibakar hidup-hidup. Yah, tipikal problematika remaja lah.

Namanya Ruby (Amandla Stenberg), dan Ruby bukan sembarang remaja spesial. Ia yakni remaja Jingga. Anda tahu, bawah umur ini diklasifikasikan ke dalam kategori warna menurut kemampuan mereka: Hijau berarti tidak berbahaya sebab cuma punya kekuatan berupa kecerdasan yang tinggi, Biru sedikit berbahaya sebab bisa telekinesis sementara Kuning bisa mengendalikan listrik. Merah dan Jingga merupakan yang paling berbahaya sebab yang satu bisa memuntahkan api dan satunya bisa membaca serta mengendalikan pikiran. Prosedur standar bagi tentara yakni lenyapkan remaja Merah dan Jingga. Kenapa cuma ada 5 warna, saya juga tak tahu, mungkin terlalu sulit bagi pembuatnya untuk membuat lebih dari 5 kemampuan super.

Ruby berhasil bertahan selama 6 tahun dengan menyamar sebagai remaja Hijau. Namun, kesudahannya toh ketahuan. Untungnya, seorang dokter berjulukan Cate (Mandy Moore) membantunya melarikan diri. Meski begitu, Ruby tak bisa begitu saja percaya dengan Cate. Kaprikornus ia melarikan diri lagi bersama 3 rekan barunya: si Biru Liam (Harris Dickinson); si Hijau Chubs (Skylan Brooks), dan si Kuning Zu (Miya Cech).

Tujuan utama mereka, sebagaimana standarnya di semesta distopia khas YA, yakni sebuah komunitas belakang layar khusus remaja dimana mereka semua bisa hidup bebas, yang dipimpin oleh seseorang berjuluk "Slip Kid". Namanya barangkali merujuk pada kemampuannya yang berhasil untuk terus lolos dari kejaran pemerintah. Masalahnya, pemerintah siap mengejar mereka dengan mengutus sepasukan tentara. Belum lagi, keberadaan para pemburu bayaran yang berjuluk "Tracers", dimana salah satunya diperankan oleh seseorang—eh tunggu, Gwendoline Christie—ah tak penting juga.

Apakah keklisean otomatis menjadi dosa? Tidak juga, tapi The Darkest Minds membuat saya jenuh. Lewat kekurangan di penyutradaraan, yang ditangani oleh Jennifer Yuh Nelson yang gres saja memulai debut live-action-nya pasca dua film animasi Kung Fu Panda, kita bisa mencicipi bagaimana kentaranya kecanggungan pacing. Perjalanan Ruby dkk tak mengalir dengan mulus; kita sangat aware bahwa kita cuma dipindahkan dari satu poin ke poin lain dengan begitu saja demi memenuhi plot. Ada sekilas kans untuk membuat filmnya berbobot lewat stress berat dari abjad Ruby yang takut dengan kemampuannya sendiri, tapi ini kemudian malah tak dieksplor lagi.

Namun mungkin ini sebab bahan sumbernya memang begitu. Film ini diangkat dari serial novel laku karya Alexandra Bracken dan mungkin direncanakan sebagai awal dari trilogi. Sayangnya, film ini tak menunjukkan resolusi bahkan untuk aspek paling penting dari pecahan ceritanya yang bangun sendiri. Momen titik puncak tak mengatakan apa-apa, seolah tak niat untuk bergerak kemana-mana sama sekali hingga film berikutnya hadir. Saya tahu kita harus menunggu kelanjutannya supaya bisa mendapat penyelesaian final. Namun sebab di jaman kini lampu hijau dari proyek film sangat bergantung pada performa box office, saya sangat mencurigai kita bakal mendapat The Darkest Minds 2. Kaprikornus yaa rasain tuh digantung. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Darkest Minds

105 menit
Remaja
Jennifer Yuh Nelson
Chad Hodge, Alexandra Bracken
Shawn Levy, Dan Levine
Kramer Morgenthau
Benjamin Wallfisch

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'The Darkest Minds' (2018)"

Post a Comment