Review Film: 'The Predator' (2018)

'The Predator' ini menyerupai film yang dibentuk Black dikala lagi mager.

They're large. They're fast. And f***ing you up is their idea of tourism.”
— Traeger
Rating UP:
Seandainya The Predator dirilis 30 tahun yang lalu, kita barangkali takkan menganggapnya terlalu janggal. Film ini cocok begitu saja bila dipandai sebagai film abad 80-an bila bukan lantaran dampak spesialnya yang sudah sangat modern. Ia merupakan film agresi yang sederhana. Plot dan dialognya tak banyak berbasi-basi. Adegan aksinya brutal dan tentu saja dibumbui kemachoan, meski memang tak ada yang bakal dapat mengalahkan kemachoan Predator pertama—yaa kenapa lagi bila bukan lantaran keberadaan the one and only Arnold Schwarzenegger. Film ini juga berisi banyolan yang tergolong tak sensitif untuk ukuran jaman sekarang.


Namun mungkin memang film beginilah yang ingin dibentuk sutradara Shane Black. Ia ingin melemparkan kita ke abad perfilman agresi receh lawas tapi dengan kualitas modern. Saya tak tahu niscaya sih, tapi Black barangkali lebih mengerti. Ya gimana, lha ia pernah bermain eksklusif kok di film Predator pertama. Jadi, ia tak membuang-buang waktu, lantaran mungkin berasumsi sudah paham akan apa yang kita mau dari sekuel film Predator, sehingga eksklusif memperlihatkan penampakan sang Predator di menit pertama.

Mirip menyerupai film pertama, yang pertama kali berkonfrontasi dengan makhluk angkasa luar ini ialah tentara yang sedang bertugas di sebuah hutan. Sniper Quinn McKenna (Boyd Holdbrook) melihat pesawat gila terdampar, kemudian menemukan rekannya dimutilasi. Ia cepat menyadari bahwa musuh ini sudah di atas paygrade-nya. Ia berhasil mengambil beberapa perlengkapan alien ini kemudian mengirimnya ke rumah, yang naasnya malah ditemukan oleh anaknya yang autis, Rory (Jacob Tremblay). Sang alien, tentu saja, tak suka dikala barangnya diambil.

Apa dan bagaimana alien ini, sudah bukan misteri lagi. Sebab kita sudah pernah melihatnya dalam 3 filmnya yang lalu. Yang paling berkesan tentu saja yang menampilkan Arnold yang be-Rambo-ria untuk melawannya di hutan Meksiko. Alien tangguh berambut gimbal ini sengaja tiba ke bumi kemudian berburu insan untuk sekedar berolahraga, bukan untuk dimangsa. Oh sebentar, ini sih bukan "predator" namanya, melainkan "hunter". Film ini tahu itu. Jadi, kenapa tetap menggunakan nama "predator"? "Karena terdengar lebih keren," celutuk salah satu karakter.

Ada pula karakter-karakter ilmuwan, yang sebagaimana biasanya di film-film menyerupai ini, hanya punya dua tugas: (1) menjelaskan sesuatu, dan (2) menjadi oportunis yang menciptakan kita berharap mereka segera dicincang oleh sang alien. Mereka diantaranya ialah guru sekolah, Casey (Olivia Munn), dan kepala tim khusus CIA, Traeger (Sterling K. Brown). Yang terakhir memerintahkan Quinn untuk dijebloskan ke penjara orang gila bersama para tentara sinting lainnya: si suicidal (Trevante Rhodes), si komedian (Keegan-Michael Key), si maniak Bibel (Augusto Aguilera), si British (Alfie Allen), dan si latah (Thomas Jane).

Bukan spoiler dikala saya bilang Quinn dan kawan-kawan barunya bakal berusaha menyelamatkan sang anak dari kejaran Predator. Apakah bakal spoiler dikala saya bilang beberapa diantaranya bakal tewas? Oh tentu mereka akan dibantai, tapi Black yang menulis skrip bersama veteran Fred Dekker menciptakan mereka menjadi abjad yang tidak mengecewakan menarik walau tak sedemikian penting untuk dipedulikan. Ini dilakukan dengan memperlihatkan mereka karakterisasi yang nyentrik serta obrolan dan banyolan yang nyelekit.

Dan Black tak menahan diri. Beberapa banyolan akan menciptakan sebagian penonton meringis, lantaran sebagian besar materi bakunya ialah materi yang seksis, rasis, bahkan disabilitas pun tak luput jadi sasaran. Namun untungnya Black tak bersikap serius-serius amat. Makara tetap ada semacam nilai hiburan ketika menyaksikan adegan-adegan aksinya yang tak tanggung-tanggung; coba hitung ada berapa momen yang menampilkan kepala terpotong dan usus terburai. Film ini memang bukan film Predator ber-suspense menyerupai film Predator pertama. Black menjaga semoga filmnya bergerak dengan cepat; entah itu lelucon, kebrutalan, atau sekuens aksi, mereka dilempar beruntun dikala ritme film melambat. Namun tak cukup cepat bagi sebagian penonton cermat yang niscaya dapat menemukan beberapa kejanggalan di logika plot.

Film ini terbilang kompeten untuk ukuran film agresi receh. Meski beberapa momennya terkesan menyerupai menyentil klise film agresi lawas, tapi ia tak mencoba terlihat sok dengan mengolok hal tersebut terlalu jauh. Yang bagi saya kurang greget ialah keunikan gaya Black yang disini keluarnya nanggung, barangkali tertahan oleh tuntutan yang dipersyaratkan studio. Lha, ini sutradara Kiss Kiss Bang Bang dan The Nice Guys lho yang kita bicarakan. Kalau dibandingkan, The Predator ini menyerupai film yang dibentuk Black dikala lagi mager. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Predator

107 menit
Dewasa
Shane Black
Fred Dekker, Shane Black
John Davis
Larry Fong
Henry Jackman

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'The Predator' (2018)"

Post a Comment