Review Film: 'Mirai' (2018)

Siapa pun yang menontonnya akan mendapat kesejukan mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memperlihatkan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memperlihatkan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapat kesejukan mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda yaitu drama keluarga mudah yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini yaitu film Hosoda, tentu saja masuk akal jikalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini alasannya yaitu kita hanya melihat dari sudut pandang huruf utamanya yang yaitu seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang yaitu seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia yaitu sentra semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik berjulukan Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih dikala sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah yaitu seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat ibarat keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya niscaya rewel sih. Dalam filmnya yang kemudian yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memperlihatkan sekuens agresi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita sanggup mencicipi betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang sanggup membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama yaitu anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya sanggup berkembang menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak Sekolah Menengah Pertama yang ternyata yaitu Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang laki-laki macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar bencana atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang sanggup diimajinasikan oleh bawah umur sungguhan di umur segitu. Namun poinnya yaitu lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari aneka macam generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di titik puncak dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian alasannya yaitu tak sanggup mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan huruf sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan huruf tersendiri yang terikat berpengaruh dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, menciptakan kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, bawah umur bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan bawah umur yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Mirai' (2018)"

Post a Comment