Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)

Semua pembiasaan manga gagal disesuaikan oleh Hollywood. 'Alita: Battle Angel' belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris.

“This is just your body. It's not bad or good. That part's up to you.”
— Dr. Dyson Ido
Rating UP:
Alita: Battle Angel disesuaikan dari manga. Anda barangkali bisa menebak ini ketika menonton filmnya. Menyaksikannya serasa membaca komik serial yang penuh dengan banyak dongeng dan episode kecil. Semuanya dijejalkan ke dalam satu film berdurasi 2 jam, dan tentu saja jadinya bakal penuh sesak dan tak karuan. Namun, kualifikasi tadi juga aku maksudkan sebagai pujian; Alita punya karakter, semesta, dan sekuens agresi menarik yang agaknya jarang sekali kita dapatkan di media selain manga. Atau anime.


Film ini merupakan pembiasaan Hollywood dari manga karya Yukito Kishiro yang dirilis pada tahun 90an. Selama hampir dua dekade, James Cameron berusaha mengembangkannya, tapi sayangnya terhenti ketika ia menentukan fokus pada Avatar yang kemudian menjadi film terlaris sepanjang masa. Sekarang ia hanya hanya bertindak sebagai (salah satu) penulis skrip dan produser, dengan Robert Rodriguez sebagai sutradara. Anda mungkin akan terkejut melihat bagaimana Rodriguez, sutradara yang menawarkan kita Desperado, Spy Kids, dan Machete, dengan entengnya bisa masuk ke ranah blockbuster berskala masif.

Semestanya ialah kota berjulukan Iron City di tahun 2563. Iron City merupakan kota kumuh yang selamat pasca tragedi besar yang disebut Kejatuhan. Populasinya padat dan konon katanya semua orang dari pelosok bumi berkumpul disini untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya ialah apapun, entah itu memasok energi, berkebun atau jadi tentara bayaran, pokoknya yang berkontribusi dalam menunjang operasional Zalem, kota misterius yang melayang di atas Iron City. Dengan kata lain; Iron City ialah budak Zalem.

Di pembuangan sampah Zalem di Iron City, abjad utama kita ditemukan oleh Dr Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang dokter mekanik yang bespesialisasi menciptakan dan memperbaiki organ robotik atau cyborg. Ido memasangkan tubuh ke kepala abjad utama kita yang ternyata masih aktif, kemudian memberinya nama Alita. Alita tak ingat apa pun, tapi entah bagaimana muscle memory-nya menyimpan kemampuan bertarung yang dahsyat.

Alita bukanlah cyborg dengan penampilan semanusiawi, katakanlah, Scarlett Johansson-nya Ghost in the Shell. Berkat kecanggihan teknologi sinema ketika ini, Alita dihadirkan sebagai kreasi CGI fotorealistik, mungkin ditambah dengan derma motion-capture, yang punya tubuh ceking dan mata superbelo. Barangkali sekalian mau kasih penghormatan ke manga-nya. Terlihat ganjil iya, tapi beberapa menit kemudian aku sudah terbiasa. Penghantaran obrolan yang ekspresif dari pemerannya, Rosa Salazar, menghidupkan Alita untuk lebih jadi sekadar abjad yang bahwasanya datar.

Bahkan, Rodriguez dan Cameron tak tanggung-tanggung dalam menghadirkan ketaknormalan desain abjad lain. Cyborg disini benar-benar cyborg. Dengan anggota tubuh, bentuk dan proporsi tubuh yang tak masuk akal, mereka sama sekali sudah tak terlihat menyerupai manusia. Sungguh sangat seru melihat wajah insan yang bicara di atas tubuh bibit unggul antara traktor dengan gergaji mesin. Kota futuristik mereka juga dihadirkan dengan detail yang luar biasa.

Sebagaimana biasa, Rodriguez selalu tahu bagaimana cara mendapat pemain pendukung mentereng yang overqualified. Ada Jennifer Connelly sebagai Chiren, mantan istri Ido yang menjalin korelasi dengan seorang promotor yang mencurigakan, Vector (Mahershala Ali). Ed Skrein mendapat potongan sebagai cyborg sengak yang berprofesi sebagai seorang Kesatria-Pemburu. Apapun itu, bodoamat. Eiza Gonzalez sebagai cyborg seksi yang mematikan. Dan Jackie Earl Haley meminjamkan bunyi dan wajahnya untuk menjadi cyborg gempal yang haus darah.

Saya tak begitu ingat apa dampak signifikan mereka bagi Alita. Sebab pertama, alasannya mereka emang gak ngaruh-ngaruh banget, dan yang kedua, alasannya ada banyak hal lain yang harus kita perhatikan dalam sekali tonton. Anda tahu, Alita tak cuma ingin mencari tahu soal masa lalunya. Ia juga disibukkan dengan keberadaan pemuda tampan berjulukan Hugo (Keean Johnson) yang punya latar belakang misterius. Lalu Alita sempat mendaftarkan diri untuk menjadi Kesatria-Pemburu. Dan masih sempat-sempatnya pula ia menjadi kontestan dalam olahraga mematikan berjulukan Motorball, semacam hasil dari rollerblade + rugby + Nascar + Transformers. Anda akan paham ketika menyaksikannya sendiri.

Ada banyak hal yang berjalan dalam Alita: Battle Angel, dan pembuatnya menyerupai tak bisa menemukan fokus. Rodriguez dan Cameron bisa saja menciptakan tiga film yang berbeda dari film ini. Barangkali dengan sedikit modifikasi atau bahkan skrip yang lebih baik, ceritanya bakal lebih lezat diikuti. Saat durasi film sudah memasuki satu setengah jam, aku sempat mengecek jam kemudian kepikiran bahwa kayaknya filmnya masih panjang. Ada banyak jalinan plot yang belum disimpulkan dan agaknya tak mungkin berakhir dalam setengah jam. Eehh, rupanya aku keliru... tapi juga tak salah.

Yang lebih aku nikmati ialah bagaimana Rodriguez menghandel adegan aksinya. Ada film yang terselamatkan berkat imbas spesial, dan Alita ialah salah satunya. Tim imbas Istimewa dari Weta Digital-nya Peter Jackson menghadirkan CGI yang terang, jelas, dan meyakinkan. Dan Rodriguez menyajikan sekuens aksinya, yang kerap kali sangat kompleks, dengan koheren dan elegan. Dalam film Desperado dkk, Rodriguez sering menggunakan angle dan gerakan kamera yang eksesif, tapi ia menyerupai menahan diri disini. Kok hingga ketika ini kita tak melihat lebih banyak Rodriguez yah di lanskap blockbuster modern? Struktur ceritanya agak kacau, tapi siapa peduli selagi keren dilihat; rasa-rasanya begini juga sih kebanyakan film superhero sekarang.

Sejauh ini, semua pembiasaan manga gagal disesuaikan oleh Hollywood. Alita: Battle Angel belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris. Rodriguez merupakan salah satu sutradara yang sangat cepat merangkul kemajuan teknologi film digital ketika sineas lain masih gagap memakainya, dan ia tampaknya sangat nyaman sekali menangani film dengan konsep dan skala yang seepik ini. Beberapa aspek tidak bekerja dalam Alita, tapi aspek-aspek yang bekerja menciptakan aku merasa bahwa Rodriguez bukanlah pilihan yang keliru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Alita: Battle Angel

122 menit
Remaja
Robert Rodriguez
James Cameron, Laeta Kalogridis (screenplay), Yukito Kishiro (manga)
James Cameron, Jon Landau
Bill Pope
Tom Holkenborg

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)"

Post a Comment