Review Film: 'Avengers: Endgame' (2019)

Untuk pertama kalinya, sebuah film MCU menjanjikan sebuah simpulan dan benar-benar membayarnya lunas.

“Part of a journey is the end.”
— Tony Stark
Rating UP:
Sudah jauh perjalanan kita, tapi jadinya kita hingga jua di penghujung (setidaknya buat sekarang). Dan sungguh ini sebuah ujung yang dahsyat. Avengers: Endgame bukan cuma sekadar film. Ia ialah event sinema terbesar sepanjang masa. Raihan box office-nya diperkirakan memecahkan (((semua))) rekor. Penjualan tiketnya sudah dibuka jauh-jauh hari, barangkali untuk mencegah pertumpahan darah di meja kasir ketika hari H. Durasinya yang tidak mengecewakan panjang, bikin geger, walau tolong-menolong ia bukanlah film terpanjang sepanjang masa. Penayangannya dibuka hingga 24 jam, yang setahu saya merupakan sebuah fenomena gres bagi bioskop publik di Indonesia. Dan tentu saja, spoiler diperlakukan setara dengan diam-diam negara.

Eh, boleh gak sih tolong-menolong saya ngomongin soal film ini? Tolong doakan keselamatan saya dan keluarga ketika artikel ini terbit.


Pada akhirnya, saya menyadari bahwa sulit sekali menilai film ini sebagai sebuah film tunggal, alasannya ialah ia memang bukan dimaksudkan menjadi menyerupai itu. Avengers: Endgame merupakan produk dari pembangunan semesta selama satu dekade, melibatkan hampir dua lusin film dan puluhan huruf yang tersebar dari aneka macam abad dan latar belakang. Saya kira tak ada orang yang "nyasar" di bioskop kemudian tiba-tiba nonton ini. Semua niscaya sudah familiar dengan Marvel Cinematic Universe (MCU), entah itu gres nimbrung kemudian nonton dengan sistem SKS ataupun penggemar usang yang sudah setia semenjak Iron Man dirilis di 2008. Avengers: Endgame ada untuk penonton ini, dan penonton ini ada untuk Avengers: Endgame.

Jadi, barangkali kecil sekali kemungkinannya untuk mengecewakan penonton. Apalagi ketika film ini didesain khusus untuk menservis para penggemar. Plotnya ialah soal menyusuri jalan kenangan, mengingat kembali momen-momen yang sudah dilewati selama bertahun-tahun. Literally; ini bukan metafora. Namun, ia bukan sekadar mengulang lagu usang demi fanservice belaka. Tukang MCU, terutama dalam hal ini penulis skrip Christopher Markus & Stephen McFeely, berhasil menemukan cara untuk menyusun batuan nostalgia ini menjadi sebuah kisah yang koheren. Bahkan beberapa poin plotnya memperlihatkan bobot drama. Kita mengunjungi kembali huruf dan insiden yang sudah kita hapal, kali ini dari perspektif yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda pula.

Namun hal yang lebih penting dulu: bagaimana cara meng-undo bencana yang sudah diciptakan Thanos (Josh Brolin)? Ini ajal yang sedang kita bicarakan. Setelah satu jentikan jari yang dicas dengan enam Infinity Stone, separuh populasi semesta musnah, termasuk sebagian dari superhero kita... dan/atau keluarga mereka, sebagaimana yang dialami oleh Clint Barton/Hawkeye (Jeremy Renner) di awal film. Beberapa ahad setelahnya, para Avenger menyadari bahwa mereka tak sanggup duka terus-terusan. Terlebih dengan embel-embel kekuatan gres lewat kehadiran Captain Marvel (Brie Larson). Mereka harus bertindak dan mengejar Thanos ke planet tempatnya pensiun.

Ah, kalau saja duduk perkara sanggup beres segampang menghajar Thanos.

Pahlawan kita harus mendapatkan fakta bahwa peristiwa dalam Avengers: Infinity War memang tak sanggup dielakkan. Kita berjumpa lagi dengan mereka dalam situasi dan kondisi yang berbeda dari yang terakhir kita lihat. Ada yang masih menyimpan sebersit harapan, ada yang sudah berdamai dengan kehilangan, ada yang menggila balas dendam, dan ada pula yang alih profesi menjadi pemabuk dan pemain game online. Menemukan siapa jadi yang mana menjadi hiburan tersendiri. Thanos mengklaim bahwa pasca "jentikan"-nya, dunia akan damai. Dan ternyata memang begitu. Layak gak sih berjuang untuk mengembalikan semuanya menyerupai semula?

Itu ialah konflik mendasar yang tolong-menolong sangat ingin saya lihat digali lebih jauh. Namun tak ada waktu lama-lama buat itu, alasannya ialah banyak yang harus dikaver disini. Yang penting untuk dilakukan kini ialah mem-followup teori kuantum-kuantuman yang dibilang oleh Scott Lang/Ant-Man (Paul Rudd). Dengan memanfaatkan itu, ada banyak kemungkinan yang tercipta. Penonton yang cakap akan menciptakan banyak spekulasi. Meski demikian, walau jagoan kita mengklaim bahwa teori mereka lebih "saintifik", kita niscaya lebih menentukan menonton film Primer kalau ingin melihat yang lebih saintifik beneran.

Thanos bilang bahwa pengaruh dari jentikannya bersifat random. Namun siapa sangka, semuanya ialah hasil kalkulasi yang cermat dari para tukang MCU. Anda niscaya sudah tahu bahwa yang selamat sebagian besarnya ialah para Avenger ori, pahlawan yang sudah menyelamatkan kita di 2012 lewat film The Avengers. Nah, di lain sisi, hal ini juga menciptakan Endgame sedikit lebih unggul dibanding Infinity War. Ceritanya lebih fokus, dan dengan skala yang relatif mengecil, sutradara Anthony & Joe Russo sanggup lebih memusatkan konflik dan stake yang dialami karakter. Juggling antarpoin plot menjadi lebih mulus, sehingga filmnya terasa ringan dan yummy diikuti meski durasinya lebih usang dibanding Infinity War.

Dan film ini punya pertarungan besar yang jauh lebih masif. Sebentar, saya cari dulu kata yang lebih tepat... hmm... yap, EPIK! Anda niscaya sudah tahu kalau para Avenger akan kembali kan? (masa sih gak tau? Plis deh). Nah, meski sudah tahu, momen dimana mereka kembali ini tetap terasa sangat epik. Ada terlalu banyak Avenger buat Thanos seorang? Jangan khawatir, Thanos membawa bala proteksi yang tak kalah banyak. Bagaimana ia mengkoordinir pasukan sebanyak ini atau bagaimana pembagian jatah makan mereka atau dimana mereka tidur kalau lagi capek, tak begitu dijelaskan. Semua pahlawan menerima momen heroik tersendiri, dan... ADA YANG MENUNGGANGI PEGASUS! ASDFGHJKL!!!

Namun, Endgame lebih berkesan di momen-momen yang lebih manusiawi. Bencana di Infinity War memperlihatkan kesempatan lebih banyak bagi para Avenger ori untuk bersinar. Clint Burton/Hawkeye, Natasha Romanoff/Black Widow (Scarlett Johansson), Bruce Banner/Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), mereka punya story arc masing-masing yang terhubung mantap dengan kisah utama. Dan sorotan terbesar ialah untuk dua leader MCU, Tony Stark/Iron Man (Robert Downey Jr) dan Steve Rogers/Captain America (Chris Evans). Kalau Infinity War punya peristiwa besar yang terasa banget gimmick-nya kayak drama selebritis negara +62 di medsos, maka Endgame punya peristiwa minor yang tak main-main. Mereka menciptakan keputusan sungguhan yang punya konsekuensi sungguhan.

Bagian ini menjadi penghormatan tersendiri bagi legacy yang mereka torehkan buat MCU sekaligus konklusi yang pas dari kulminasi semesta sinema terbesar sejagad. Epilog Endgame bukanlah penutup dari filmnya sendiri, melainkan penutup dari semestanya secara keseluruhan. Kita tak merayakannya sebagai film; kita merayakannya sebagai fenomena kultural. Bagi penonton yang sudah terikat dengannya, ini akan menjadi momen yang sangat emosional. Betul, MCU tak akan tiba-tiba lenyap sehabis film ini. Namun, untuk pertama kalinya, sebuah film MCU menjanjikan sebuah simpulan dan benar-benar membayarnya lunas. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Avengers: Endgame

181 menit
Remaja - BO
Anthony Russo, Joe Russo
Christopher Markus, Stephen McFeely (screenplay), Stan Lee, Jack Kirby (komik)
Kevin Feige
Trent Opaloch
Alan Silvestri

©

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Film: 'Avengers: Endgame' (2019)"

Post a Comment